" Selamat datang di situs pribadiku. Mari dengan semangat keakraban, kecerdasan, kritis tetapi menjunjung tinggi kejujuran dalam berkomunikasi, kita kuak tabir kehidupan nyata yang terjadi dalam kehidupan kita "!

Tanggal 26 Maret 2013, kira-kira pukul 02.00 atau Selasa dini hari, di rumah kami Perumahan Villa Perwata, Kelurahan Pondok Petir, Kecamatan Bojongsari Depok telah terjadi pencurian.  Kasus ini sedang ditangani Polsek Sawangan. Dari berbagai barang-barang yang diambil pencuri, salah satunya adalah Surat Tanda Nomor Kendaraann (STNK) Sepeda Motor Merk Suzuki  Thunder tipe EN 125 A,  warna Biru dengan Nomor Polisi F 5196 BJ, atas nama Fitri Oktaviani.
Kami sangat berharap STNK tersebut bisa kembali. Oleh karena itu, bagi yang menemukan STNK dengan ciri-ciri seperti tersebut di atas, mohon kiranya untuk memberitahu kami di nomor kontak 08881344978. Atas perhatiannya kami sampaikan banyak terima kasih.

Hormat Kami
Fitri Oktaviani


Baca Selengkapnya!

Oleh Fatkhuri Selesai sudah gelaran pilkada untuk memilih gubernur dan wakil gubernur di Provinsi DKI Jakarta yang diselenggarakan pada 20 september 2012 lalu. Sebagai warga bangsa, kita patut mengapresiasi pesta demokrasi di DKI yang berjalan lancardan tidak ada kendala yang cukup berarti. Hal ini mementahkan berbagai macam prediksi dan kekhawatiran bahwa Pilkada DKI akan berjalan rusuh. Yang menarik, hasil penghitungan cepat (quick count) dari semua lembaga survei menunjukkan bahwa pasangan Joko Widodo yang akrab dipanggil Jokowi dan Basuki T. Purnama yang akrab dipanggil Ahok memperoleh kemenangan dengan selisih suara cukup meyakinkan dari rivalnya kuatnya Fauzi Bowo-Nahrowi Ramli (Foke-Nara). Hasil quick count LSI menunjukan Jokowi-Ahok memperoleh suara 53,68% dan Foke-Nara 46,32%, Indo Barometer, Jokowi-Ahok memperoleh 54,11%, dan Foke-Nara 45,89%. Dengan perolehan suara tersebut, Jokowi dipastikan menang dan hanya tinggal menunggu hasil perolehan penghitungan suara manual oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta yang tentunya tidak akan jauh berbeda.
Pilkada DKI ini cukup menyedot perhatian publik, tidak hanya karena Jakarta merupakan episentrum perpolitikan tanah air, di mana banyak kalangan menilai Jakarta sebagai miniatur Indonesia, tetapi juga karena Pilkada DKI sarat akan kompetisi yang cukup ketat dengan kontestan sama-sama kuat. Berangkat dari realitas inilah kemudian hampir semua partai politik tidak sembarangan memilih calon-calon terbaiknya. Dalam hal ini, semua partai politik hampir dipastikan sangat hati-hati dalam menentukan siapa yang akan diusung. Pada konteks inilah, Pilkada DKI menjadi menarik, mengingat para kontestan pesta demokrasi lima tahunan ini pada akhirnya tidak hanya diikuti oleh figure-figur dari Jakarta sendiri, melainkan beberapa partai politik justru mengusung kandidat dari luar Jakarta seperti Golkar-PPP yang pada putaran pertama mengusung Alex Noordin-Nono Sampono. Alex merupakan kader Golkar provinsi Sumatera Selatan yang saat ini masih menjabat sebagai Gubernur, dan karena perolehan suaranya yang sangat kecil tidak bisa mengikuti kompetisi putaran kedua. Kemudian, PDIP juga tidak mau kalah dengan mengusung Jokowi, yang notabene wali kota Solo dan dianggap berhasil membawa Solo menuju perubahan. Nama yang terakhir ini cukup popular di mata warga jawa tengah karena berbagai kebijakan yang telah diambil dianggap pro-rakyat kecil seperti melokalisir pedagang kaki lima tanpa gejolak dan lain sebagainya. Terlepas dari persoalan siapa dan darimana asal para kandidat, Pilkada DKI telah memberikan banyak pelajaran berharga bagi masyarakat, terutama bagi para politisi. Salah satunya adalah fenomena kemenangan Jokowi-Ahok yang notabene hanya didukung oleh dua partai politik (PDIP dan Gerindra), namun mampu menjungkirbalikan kekuatan besar koalisi partai politik yang mendukung pasangan Foke-Nara. Realitas ini menunjukkan bahwa arus besar kekuatan rakyat jauh lebih efektif dalam mendorong suksesi kepemimpinan. Rakyat yang selama ini hanya menjadi bulan-bulan partai politik, telah membuktikan diri menjadi kekuatan yang tidak bisa dianggap remeh dengan memilih Jokowi-Ahok. Dalam konteks ini, rakyat tampak memegang kuasa penuh untuk menentukan siapa yang menurut penilaian mereka cakap menjadi seorang pemimpin bagi mereka. Suara Rakyat Suara Tuhan Apa yang diuraikan di atas senafas dengan mantra politik yang cukup popular dalam diskursus ilmu politik, yakni suara rakyat suara Tuhan atau dalam ungkapan Latin disebut Vox Populi Vox Dei yang berarti suara rakyat suara Tuhan. Tidak berlebihan, jika ungkapan ini bisa dijadikan basis argumentasi untuk menganalisis Pilkada DKI sebab suara rakyat suara Tuhan memberikan sinyal kepada publik bahwa rakyat memiliki kuasa penuh dalam rangka menentukan masa depan mereka melalui pemilihan pemimpin-pemimpin politik yang sesuai dengan kehendaknya. Pilkada DKI telah membuka mata publik, bahwa terlepas dari konstalasi politik yang berkembang, rakyat pada akhirnya harus memutuskan yang terbaik melalui pemilihan langsung. Rakyat telah membuktikan diri bahwa suara mereka tidak kalah dengan suara partai politik yang selama ini mengklaim diri memperjuangkannya. Secara lebih detail, relevansi suara rakyat suara Tuhan didasarkan pada dua hal. Pertama, Pilkada DKI yang dimenangkan oleh Jokowi-Ahok sejatinya merupakan bukti bahwa rakyatlah pada akhirnya yang memiliki kekuatan tak tertandingi. Jika rakyat sudah berkehendak, maka siapapun tidak bisa untuk menghadangnya. Kita tahu, proses perjalanan Jokowi-Ahok menuju kemenangan tidaklah mudah. Semua mafhum bahwa publik Jakarta belum banyak mengenal Jokowi, meskipun figur yang satu ini sudah cukup populer di Solo. Oleh karena itu, keputusan maju menjadi calon Gubernur DKI tentu bukan persoalan yang mudah, mengingat tantangan besar menghadangnya terutama bagaimana dia bisa menarik perhatian publik Jakarta sehingga mau untuk memilihnya, apalagi Jokowi dianggap orang kampungan yang hanya sukses di daerahnya sementara problem Jakarta dinilai banyak orang berbeda dengan Solo yang hanya kota kecil. Namun demikian, fakta berbicara lain, dengan kesederhanaan yang dimiliki, serta akrab dengan rakyat bawah, Jokowi mampu mengubah segalanya terutama dia semakin dikenal di mata rakyat. Dari sinilah dia merasa memiliki pintu masuk untuk bisa memenangkan pertarungan, karena hati rakyat mampu dia sentuh. Di sisi lain, Jokowi-Ahok juga juga menghadapi tantangan lain, salah satunya adalah isu sara yang acapkali digembar-gemborkan lawan politiknya. Kita tahu, Ahok berasal dari etnis Tionghoa, sehingga kehadirannya dalam pertarungan pilkada DKI cukup membuat gerah lawan politiknya. Dengan menggunakan isu ini, lawan politiknya mencoba menarik simpati masyarakat, agar memilih pemimpin yang se-agama. Namun demikian, isu sara yang menjadi senjata pasangan Foke-Nara ternyata tidak signifikan merubah preferensi politik masyarakat. Justru sebaliknya, isu yang digelindingkan ini menjadi bumerang bagi pasangan Foke-Nara. Alih-alih mendapatakan simpati publik, yang terjadi justru pasangan ini mendapat kecamanan dari masyarakat, dan secara tidak langsung pasangan ini sebetulnya telah melakukan bunuh diri politik. Publik tentu masih ingat, bagaimana sikap Nara ketika menjawab pertanyaan dari presenter dalam Debat kandidat Cagub-Cawagub di salah satu stasiun televisi swasta. Sikap Nara dengan menirukan logat etnis Cina ketika memberikan pertanyaan kepada Ahok tentu sangat tidak etis, tidak hanya karena jutaan pasang mata menyaksikan, tapi dalam konteks menghormati keberagaman suku-etnis, dan agama, sikap semacam itu sangat tidak dibernarkan meskipun dengan maksud bercanda. Hasilnya kenyataan justru berbalik arah, meskipun dihadang isu sara, pada akhirnya, rakyatlah yang menilai dan memutuskan, siapa yang layak memimpin Jakarta, dan dalam kaitan ini, pasangan Jokowi-Ahok justru banyak diuntungkan dengan mendulang banyak suara. Kedua, fenomena suara rakyat suara Tuhan bisa ditelisik dari fenomena kemenangan Jokowi-Ahok yang secara formal hanya didukung oleh dua partai politik yakni PDIP dan Gerindra. Sepintas lalu, mengalahkan Foke ibarat semut melawan Gajah yang besar. Tidak diragukan lagi bahwa lawan politik Jokowi bukanlah orang sembarangan. Foke memiliki modal sosial yang cukup baik untuk kembali maju menjadi Gubernur. Di Jakarta, Foke sudah dikenal publik luas dan memiliki jaringan yang sangat kuat. Di samping dia merupakan putra daerah, Foke memiliki segudang pengalaman di dunia birokrasi, sehingga baginya tentu bukanlah hal yang sulit untuk kembali maju. Demikian halnya, Foke juga memiliki latar belakang pendidikan yang memadai, serta kekuatan finansial yang tidak diragukan lagi, dan inilah modal sosial Foke yang tidak bisa dibilang kecil. Di sisi lain, Foke yang notabene sebagai calon incumbent, didukung oleh banyak partai politik seperti partai Demokrat, Golkar, PPP, PKS, PKB, dan Hanura. Dari semua sisi, bisa dikatakan Foke memiliki segalanya, dan faktor-faktor inilah yang kemudian membuat Foke dan pendukungnya optimis bisa memenangkan kompetisi, dan secara matematis, sulit kiranya memprediksi jika Jokowi akan memenangkan pertarungan. Namun demikian, fakta berbicara lain, pasangan Jokowi-Ahok justru memenangkan pertandingan dengan perolehan suara cukup meyakinkan, di sinilah lagi-lagi rakyat menjadi benteng terakhir kemenangan Jokowi-Ahok manakala modal sosial pasangan ini kecil dan tidak lagi bisa menandingi lawan politiknya, rakyat justru berada dibelakangnya dengan memberikan support penuh dan garansi kemenangannya. Warning bagi partai politik Pilkada DKI telah menunjukkan kepada publik, tidak hanya rakyat yang memiliki kekuatan besar, tetapi juga masa depan partai politik semakin mengkhawatirkan. Parpol yang selama ini seakan-akan menjadi dewa politik yang bisa memutuskan segala hal sesuai dengan kepentingan mereka, kemudian harus terbelalak melihat fenomena kemenangan Jokowi. Di atas kertas, Jokowi didukung PDIP-Gerindra, namun demikian, peran kedua partai ini sebetulnya tidak begitu siginifikan, sebab faktor figur pribadi Jokowi yang dielu-elukan masyarakatlah yang sangat menentukan. Pembawaan Jokowi yang santun dan sederhana, diakui atau tidak telah mampu menyihir mata publik untuk bisa memilihnya, dan pada saatnya yang sama mengalihkan perhatian masyarakat yang pada awalnya memilihi Foke-Nara. Dengan kemenangan Jokowi-Ahok, setidaknya semua partai politik harus melakukan dua agenda besar. Pertama, partai politik harus secepatnya melakukan konsolidasi internal guna menjaga keberlangsungan partai pada pemilu 2014 dan seterusnya. Fenomena Pilkada DKI harus menjadi bahan evaluasi bahwa tidak selamanya keputusan partai akan diikuti oleh konstituen mereka. Jika hal ini hanya dianggap angin lalu, maka bukan tidak mungkin, partai politik akan semakin ditinggalkan rakyat. Bagaimana pun, partai membutuhkan trust (kepercayaan) masyarakat karena dari sinilah mereka bisa survive. Kedua, partai politik harus secara serius merawat konstituennya, dan umumnya masyarakat dengan tidak lagi banyak membohonginya dengan obral janji. Partai politik harus bisa menunjukan bahwa mereka masih terlalu seksi untuk ditinggalkan rakyat, dengan memberikan segala apa yang pernah dijanjikannya. Partai politik harus mulai merubah paradigma berfikir, yang semula menjadikan rakyat sebagai Cinlok (cinta lokasi), mulai saat ini harus menjadikannya sebagai kekasih abadi. Kekasih abadi artinya rakyat setiap saat harus diperhatikan dan disayangi, jangan hanya dijadikan obyek cinlok (cinta lokasi) yang hanya diperhatikan ketika pemilu tiba. Ketiga, partai politik harus melakukan seleksi secara ketat terhadap kader-kadernya sehingga popularitas partai politik tidak terciderai. Dengan banyaknya kasus yang menimpa partai politik baik korupsi, narkoba, dan semacamnya, maka rakyat semakin tidak percaya dan apatis melihat partai politik. Seleksi secara ketat terhadap kader partai merupakan cara jitu bagaimana mengembalikan citra partai yang terlanjur rusak di mata rakyat. Dengan dengan demikian, partai politik bisa meminimalisir kesalahan seperti yang sudah terjadi pada masa sebelumnya, dan pada gilirannya kepercayaan masyarakat bisa bersemi kembali. Semoga partai politik bisa melakukannya.

Get Follow Me Buttons


Baca Selengkapnya!


Get Twitter Buttons Kompasiana.com 26 Februari 2012 Oleh Fatkhuri Hampir dapat dipastikan, bahwa praktik demokrasi tidak hanya monopoli elit-elit politik terutama yang duduk di singgasana empuk di Jakarta. Saat ini, praktik demokrasi melalui pemilihan kepala daerah sebagaimana menjadi amanat undang-undang juga telah terjadi di seluruh daerah di Indonesia sejak tahun 2005 yang lebih terkenal dengan sebutan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) secara langsung. Pemilihan Umum Kepala Daerah secara langsung telah dipraktikan beberapa tahun belakangan. Namun demikian, kalau kita mau menelisik lebih jauh praktik pemilihan pemimpin, pemilihan secara langsung sebetulnya sudah lama dilaksanakan di desa-desa di Indonesia dalam rangka memilih kepala desa di kampung-kampung.
Berpijak pada realitas di atas, dapat disimpulkan bahwa demokrasi pada dasarnya telah tertanam sejak puluhan tahun yang silam di masyarakat Indonesia. Namun perlu digarisbawahi juga bahwa demokrasi masih dimaknai sebatas kepada pemilihan kepala desa atau Rukun Tetangga (RT), belum kepada taraf praktik penanaman nilai-nilai (values) akan substansi demokrasi itu sendiri. Demokrasi ala masyarakat kita meskipun dalam derajat tertentu sudah ada yang mulai maju tingkat pemahamannya masih terjebak pada pergantian kepemimpinan, baik pada tingkat presiden, gubernur, bupati/wali kota, bahkan kepala Rukun Tetangga (RT). Mengamati Proses Pemilihan Ketua RT Hari ini saya mengamati pemilihan Ketua RT di tetangga sebelah. Sebagaimana jamak diketahui bahwa saat ini, pemilihan ketua RT sudah lebih demokratis dari sebelumnya, artinya proses pemilihan dilakukan secara terbuka dengan melibatkan partisipasi warga. Saat ini, hampir bisa dipastikan banyak kampung-kampung yang melaksanakan pemilihan ketua RT dengan cara terbuka. Cara terbuka di sini maksudnya adalah bahwa proses pemilihan tidak dilakukan dalam ruang-ruang tertutup, atau perkumpulan-perkumpulan yang sering dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Pemilihan ketua RT, sama persis dengan apa yang dilakukan oleh penyelenggara pemilihan umum baik pada level nasional, maupun regional melalui Pemilihan Kepala Daerah, yakni dengan mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS). Yang unik dan menarik perhatian saya adalah bahwa, pelaksanaan pemilihan Ketua RT ini tidak lazim sebagaimana yang biasa saya amati, yakni hanya sekali dalam pemilihan, meskipun dalam pemilukada hal tersebut sudah biasa terjadi. Lebih tepatnya, belum lama ini terjadi pemilihan ketua RT tepatnya pada hari minggu tanggal 12 Februari 2012. Kalau saya coba hitung mundur, pemilihan ketua RT sebelumnya baru dilaksanakan dua minggu yang lalu. Pelaksanaan Ketua RT yang kedua ini konon karena salah satu pasang calon tidak puas, atau kecewa karena tidak terpilih menjadi RT. Berdasarkan informasi yang saya dapat, selisih suara sangat tipis, yakni 6 suara. Tidak lama setelah pemilihan Ketua RT terjadi, beberapa warga sering berkumpul dan berdiskusi, tentu dengan dihadiri calon yang sebelumnya kalah dalam pemilihan. Rumor berhembus, bahwa calon yang kalah tidak puas, dan dengan pengaruh yang dimiliki, dia memobilisasi warga untuk mengadakan pemilihan ketua RT ulang. Perlu dicatat di sini bahwa calon yang sebelumnya menang adalah incumbent, dan pada pemilihan tanggal 12 Februari 2012 yang lalu dia maju untuk periode yang kedua. Ternyata proses gerilya yang dilakukan oleh calon yang kalah dengan beberapa koleganya dalam rangka mengadakan pemilihan RT ulang ini berhasil. Terbukti, pemilihan kemudian dilangsungkan pada tanggal 26 Februari 2012. Pemilihan Ketua RT untuk yang kedua ini tidak melibatkan semua pemilih tetap yang terdaftar oleh panitia sebelumnya, sebab pemilihan kali ini hanya untuk separuh dari warga yang mengikuti pemilihan sebelumnya. Artinya, warga yang berhasil dimobilisasi ini sepakat memisahkan diri dari kepemimpinan RT lama, dan tidak lagi mempunyai hubungan secara administratif dengan RT incumbent yang menang pada pemilihan sebelumnya. Dengan cara membentuk RT baru inilah kemudian, warga akhirnya melakukan pencoblosan ulang untuk memilih Ketua RT lagi. Berdasarkan informasi yang beredar dari berbagai sumber, calon yang sebelumnya kalah tidak ikut mencalonkan lagi. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan, suara dari calon yang kalah sebelumnya akan diberikan kepada salah satu calon yang saat ini maju. Perlu dicatat di sini bahwa, pada pemilihan sebelumnya, jumlah calon ketua yang maju dua orang, dan saat ini pun demikian. Berdasarkan fakta di atas, saya menyimpulkan beberapa poin terkait dengan praktik demokrasi masyarakat akar rumput. Pertama, masyarakat kita cenderung melakukan imitation habit (meniru tingkah laku) dari para elit-elit politik yang mereka lihat. Argumentasi ini bisa dilihat dari dua aras. Pertama, praktik pemilihan ketua RT secara terbuka tidak ada instruksi khusus dari kepala RW, Kepala Desa/Lurah, bahkan camat mau pun Bupati/Wali Kota. Mereka melaksanakan pesta demokrasi tersebut berdasarkan inisiatif sendiri atau voluntary intention tanpa ada himbauan dari pemimpin yang berada pada tingkat di atasnya. Apa yang mereka lakukan tidak lebih dari proses meniru dari yang disuguhkan selama ini ketika terjadi pergantian kepemimpinan baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota. Kedua, Proses pemilihan ketua RT dengan cara terbuka membuktikan bahwa di samping demokrasi sudah mulai mengakar pada masyarakat akar rumput meskipun masih pada tarap pemilihan pemimpin, tetapi pada dasarnya mereka cenderung meniru apa yang mereka lihat dari praktik pemilihan kepala daerah. Contohnya, pembentukan RT baru, yang dimotori oleh calon yang kalah dalam pemilihan ketua sebelumnya membuktikan bahwa calon tidak siap kalah dan mencoba mencari jalan pintas agar kepentingannya bisa tercapai. Apa yang dilakukan calon ketua RT yang kalah ini sebetulnya meniru apa yang dipraktikan oleh para calon-calon kepala daerah yang kalah dalam pemilukada di berbagai daerah. Terlepas dari benar dan salah dari apa yang dilakukan oleh para kandidat kepala daerah yang kalah dengan mangajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), hal ini kemudian ditiru oleh masyarakat kita. Yang menarik adalah bahwa pemisahan diri dari RT sebelumnya tidak memiliki basis argumentasi yang kuat. Pemisahan terjadi karena dianggap, RT lama terlalu luas cakupan wilayahnya, sehingga urgensi melakukan pemisahan harus secepatnya dilakukan. Ironisnya, sikap pemisahan diri ini tidak terjadi sebelum momentum pemilihan ketua RT periode pertama, akan tetapi dilakukan setelah pemilihan ketua RT sebelumnya, dan dipastikan calon mereka kalah dalam pemilihan. Kedua, demokrasi ala masyarakat juga tidak bisa dilepaskan dari praktik money politik. Meskipun perlu diuji kebenarannya, praktik money politik ini terjadi dalam proses pemilihan ketua RT. Informasi yang berasal dari salah satu sumber mengatakan bahwa, salah satu calon pada dasarnya tidak memiliki kapasitas, akan tetapi didanai oleh salah satu orang yang memiliki kepentingan tertentu di kampung tersebut. Fenomena ini merupakan bukti bahwa imitation habit atau proses meniru yang dilakukan masyarakat terhadap elit-elit politik begitu efektif. Jalan terjal mewujudkan demokrasi Jalan menuju pembangunan demokrasi yang sebenarnya masih panjang. Apa yang dipraktikkan oleh elit-elit politik kita saat ini dengan melakukan jalan pintas melalui money politics dan sebagainya benar-benar ditiru oleh masyarakat secara efektif. Tentu ini merupakan preseden buruk bagi terciptanya iklim demokrasi yang sebenarnya. Dengan melihat fakta ini, dapat dismpulkan bahwa apa yang dilakukan masyarakat akar rumput saat ini adalah cerminan para elit yang tidak bertanggungjawab. Dengan berbagai cara mereka lakukan ketika pemilukada dan kampanye berlangsung, namun ketika mereka terpilih kemudian lupa kepada yang memilih. Padalah apa yang mereka tinggalkan merupakan jejak kotor, yang seharusnya segera mereka luruskan. Seandainya cara-cara kotor tidak dilakukan oleh politisi ketika dalam pemilukada dan pemilihan umum, barangkali apa yang tersuguhkan hari ini pada kasus pemilihan RT di tetangga sebelah tidak terjadi.


Baca Selengkapnya!


Get Twitter Buttons Fatkhuri, twitter, @fatur_fatkhuri
OPINI Kompasiana| 11 April 2011

Lagi-lagi korupsi. Kata itulah barangkali yang bisa mewakili kekesalan publik atas ulah sebagian petinggi negeri yang tidak bosan-bosannya melakukan tindakan korupsi. Entah sampai kapan episode korupsi akan berakhir, publik pun belum bisa memastikannya. Sebab korupsi masih menjadi penyakit yang sampai hari ini masih terasa sulit untuk mengobatinya. Para pelaku korupsi pun seakan tak pernah merasa jera, padahal sudah banyak sebagian di antara mereka yang masuk ke jeruji penjara. Kasus Bank Century, Traveler Check dalam pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia, kasus mafia pajak untuk menyebut beberapa kasus adalah contoh kecil dari pernak-pernik fenomena korupsi yang terjadi selama ini. Realitas tersebut memberikan sinyal bahwa reformasi semakin tidak mempunyai arah yang jelas, apalagi berpihak kepada mereka yang terpinggirkan/termarginalkan (rakyat). Reformasi yang diharapkan banyak pihak bisa membawa angin perubahan pada semua lini kehidupan tengah dibajak oleh sebagian elit-elit politik demi kepentingan pribadi. Lebih tepatnya, reformasi telah dinodai dengan merajalelanya tindakan koruptif oleh sebagian pejabat kita. Alhasil, korupsi semakin menggurita bak penyakit akut yang tidak ada penawarnya, meskipun tidak bisa dipungkiri, segala cara sesungguhnya telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk memberangusnya. Namun demikian, segala jurus jitu juga dipakai oleh oknum yang tidak bertanggung jawab demi keuntungan pribadi dan kroni-kroninya. Pada titik inilah reformasi menyisakan berbagai macam permasalahan besar yang membutuhkan perhatian ekstra dari seluruh warga bangsa. Maraknya korupsi kepala daerah Masalah korupsi semakin menggila ketika perilaku korup tidak hanya terjadi di tingkat pemerintah pusat, melainkan semakin liar merayap ke jantung pemerintahan daerah. Tak tanggung-tanggung, berdasarkan informasi yang dihimpun dari banyak sumber mengatakan bahwa saat ini ada sekitar 155 kepala daerah yang tersangkut masalah hukum, di mana 17 orang di antaranya adalah gubernur. Di beberapa daerah, grafik korupsi juga meningkat drastis dibanding tahun-tahun sebelumnya. Contoh, laporan Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi Kolusi Nepotisme (KP2KKN) provinsi Jateng menyatakan bahwa selama tahun 2010, di Jateng terdapat 174 kasus korupsi. Angka ini naik drastis dibandingkan dengan tahun 2009 yang hanya mencapai 39 kasus, dan pada tahun 2008 hanya 29 kasus. Kenyataan ini menguatkan sebuah kesimpulan sementara bahwa pelaksanaan desentralisasi yang muaranya adalah menciptakan pemerintahan berkualitas (good-governance) di mana salah satunya ditandai dengan penciptaan pemerintahan yang bersih dari aroma Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) semakin jauh panggang dari api. Sebaliknya, pelaksanaan desentralisasi yang mewujud melalui otonomi daerah justru memberi ruang yang cukup menganga terhadap praktek korupsi. Pertanyaannya kemudian, kenapa korupsi begitu marak dilakukan oleh sebagian oknum pejabat daerah (kepala daerah)? Langkah-langkah apa yang bisa ditempuh guna mencegah maraknya korupsi yang dilaksanakan oleh kepala daerah? Ada sejumlah alasan mengapa korupsi begitu marak dilakukan terutama oleh para pejabat daerah. Pertama, merajalelanya praktik korupsi di daerah karena tingginya ongkos politik yang harus ditanggung oleh para kandidat yang maju dalam pemilukada. Alhasil, kondisi ini rentan dengan penyelewengan atau penyalahgunaan wewenang ketika salah satu di antara mereka menang atau pada akhirnya menjadi kepala daerah. Di sini kepala daerah terpilih mencari-cari cara bagaimana untuk mengembalikan modal melalui APBD. Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center Arif Nur Alam pernah mengatakan,bahwa biaya yang dibutuhkan oleh seroang kandidat calon bupati minimal Rp 5 miliar, calon wali kota minimal Rp 10 miliar, dan calon gubernur minimal Rp 20 miliar. Sementara pengeluaran ini tidak sebanding dengan gaji yang mereka terima. Di sisi lain, penyelewengan dilakukan berkaitan dengan kepentingan incumbent untuk maju dalam pemilukada berikutnya. Penyalahgunaan wewenang dalam konteks ini adalah seperti penggunaan APBD untuk kegiatan-kegiatan yang menyimpang dari program yang sebenarnya harus dijalankan. Contoh, banyak dijumpai bahwa para pejabat petahana (incumbent) menggunakan fasilitas dan dana pemerintah setempat untuk keperluan kampanye politik. ICW mencatat bahwa dalam pelaksanaan pemilukada selama tahun 2010, dijumpai ada sekitar 504 kasus pilkada terkait penyalahgunaan wewenang dan jabatan. Kondisi ini mengafirmasi fakta bahwa korupsi di daerah lebih banyak disebabkan karena masalah kepentingan politik (ongkos politik yang cukup tinggi) dan rendahnya moral para pejabat terutama pada usaha untuk memperkaya diri sendiri. Kedua, korupsi kepala daerah disebabkan karena rendahnya pengawasan dari masyarakat. Kontrol yang kurang dari masyarakat menyebabkan pejabat daerah (kepala daerah) bisa seenaknya sendiri melakukan tindakan korupsi terlebih mereka merasa telah mengeluarkan ongkos politik yang teramat besar. Buruknya performa kepala daerah terlebih tersangkut kasus korupsi semakin membelalakan mata kita bahwa transisi menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa sangat sulit untuk diwujudkan. Fakta ini semakin menegaskan bahwa reformasi dengan segala macam instrumen yang dimilikinya dalam derajat tertentu justru memindahkan fenomena korupsi dari pusaran kekuasaan di tingkat pusat ke tingkat daerah. Disinilah ironi demokrasi semakin nyata adanya. Pencegahan Korupsi Kepala Daerah Beberapa kalangan melihat bahwa solusi untuk mencegah korupsi di daerah adalah salah satunya dengan mengembalikan ajang pesta demokrasi (pemilukada) kepada DPRD setempat. Asumsinya adalah dengan mengembalikan proses pemilihan kepala daerah ke DPRD, maka peluang korupsi bisa dicegah. Wacana ini menyeruak ke permukaan sebagai respon atas fakta miris yang terjadi akhir-akhir ini di mana banyak kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Dalam konteks ini, para kepala daerah harus dipilih secara tidak langsung oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah daripada rakyat secara langsung. Namun demikian, menurut hemat saya, pengembalian hak suara kepada anggota DPRD di samping terjadi proses kemunduran, juga memasung kedaulatan rakyat. Di sisi lain, langkah ini bukanlah solusi untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi sebagaimana yang terjadi selama ini. Ada beberapa alasan mengapa pemilukada tidak langsung bukanlah solusi alternatif. Pertama, bukan tidak mungkin money politik tetap susah dicegah. Hal ini berkaitan dengan kepentingan para kandidat untuk bisa memenangi pertarungan. Mengingat yang mempunyai hak pilih adalah anggota DPRD, maka peluang politik transaksional melalui model suap atau pembelian suara lewat anggota fraksi jelas-jelas sangat terbuka lebar. Dus, pemilukada tidak langsung secara kasad mata tidak bisa menyelesaikan masalah korupsi. Kedua, pemilukada tidak langsung hanya akan menciderai demokrasi yang dengan susah payah tengah dibangun. Hal ini lebih disebabkan karena tidak adanya partisipasi politik masyarakat secara langsung untuk bisa memilih kandidat yang mereka senangi. Dengan demikian, tidak adanya hak rakyat dalam menentukan kepala daerah mereka akan semakin mengkerdilkan nilai-nilai demokrasi karena hak rakyat secara tidak langsung telah dikebiri. Terkait hal tersebut, paling tidak ada tiga hal yang patut menjadi bahan pertimbangan demi melakukan pencegahan terhadap aksi korupsi oleh kepala daerah. Pertama, dana kampanye harus dibatasi. Selama ini, alokasi dana kampanye belum secara tegas diatur. Pun jumlah uang yang dibutuhkan dalam kampanye juga tidak transparan dalam pelaporannya. Pembatasan dana kampanye menjadi penting mengingat ongkos politik terlalu mahal dan selama ini lebih banyak dibebankan kepada kandidat. Dengan demikian, pembatasan ini bisa mengerem keinginan kepala daerah terpilih untuk melakukan tindakan korupsi. Kedua, parpol harus mengeluarkan/mengalokasikan dana untuk kepentingan kampanye politik calon pemimpin di daerah. Selama ini, parpol terkesan enggan mengeluarkan dana kampanye disebabkan karena calon berasal dari luar partai. Kondisi ini menyebabkan partai memperoleh banyak keuntungan sebab mereka tidak harus bersusah payah mengeluarkan ongkos politik yang terlalu besar. Ketiga, sebisa mungkin kandidat kepala daerah harus dari kader parpol. Hal ini sangat penting untuk menghindari politik transaksional. Logikanya adalah jika kader sendiri yang maju, maka potensi kandidat untuk melakukan suap terhadap parpol sendiri akan kecil. Pun sebaliknya, partai politik tidak akan memasang bandrol terkait berapa yang harus dikeluarkan kandidat untuk bisa maju dalam ajang pemilukada. Selanjutnya, pemilihan kader parpol juga untuk menunjukan bahwa partai politik telah secara serius melakukan pengkaderan terhadap anggota-anggota mereka. Di atas segalanya, dibutuhkan kemauan politik (political will) semua pihak terutama pemerintah agar maraknya tindakan korupsi bisa dicegah seminimal mungkin. Penulis adalah Dosen FISIP Universitas Budi Luhur Jakarta


Baca Selengkapnya!

Koran Suara Merdeka

15 Nopember 2010

Kesiapan Bupati Pemalang Melayani

* Oleh M Fatkhuri

Tak ada salahnya bupati atau wakil bupati studi banding ke Solo atau Yogyakarta, guna mengeksplorasi konsep bagaimana menjadi pemimpin sekaligus pelayan masyarakat

SELESAI sudah pelaksanaan pilkada 2010 di Kabupaten Pemalang, yang diikuti empat pasangan calon bupati-wakil bupati. Hasil perhitungan KPUD menyebutkan pasangan Junaedi-Mukti Agung W mendapatkan 210.713 suara (47,18 %), disusul Sumadi Sugondo-Siti Sukesi 32,49%, Kun Sriwibowo-Endang Purwanti 17,15%, dan Yugo Dijaya-Sri Hartati 3,18%.



Rapat pleno KPUD sudah menetapkan legalitas kemenangan pasangan Junaedi-Mukti Agung W, dan dijadwalkan mereka dilantik Gubernur Bibit Waluyo pada 24 Januari 2011 (SM, 09/11/10).


Terlepas dari siapa pemenangnya, ke depan bupati dan wakil bupati harus bisa memberikan kejutan bagi masyarakat, yang sudah lama merindukan kemajuan. Bertahun-tahun Pemalang selalu dipandang dengan sebelah mata. Tidak jarang dibandingkan dengan kabupaten/ kota tetangga, seperti Kabupaten Pekalongan, Purbalingga, dan Kabupaten/ Kota Tegal, yang relatif lebih maju dari segi infrastruktur ataupun kinerja bidang lainnya.

Untuk itu, pertama; bupati (dan juga wakil bupati) ke depan harus berani melakukan terobosan. Harus ada kebijakan yang secara spesifik memberi dampak langsung pada tingkat pertumbuhan ekonomi daerah, percepatan penanggulangan kemiskinan, dan terbukanya lapangan kerja. Tiga tema itu merupakan jantung persoalan yang harus diprioritaskan.


Desain kebijakan secara ekstrem harus digarap. Ekstrem dalam konteks ini adalah kebijakan yang berbeda dari program sebelumnya mengingat saat ini dibutuhkan program yang bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak. Bupati perlu melakukan perombakan secara masif sehingga pemerintahan ke depan bisa lebih baik dari sebelumnya.


Kedua; kepala daerah harus bisa membuktikan zero corruption dalam segala bidang, terutama di birokrasi. Ia harus bisa meyakinkan publik bahwa jajaran birokrasi bersih dari unsur KKN. Jika masalah ini diabaikan atau diberlakukan setengah-setengah maka sebaik apapun program kerja tidak bisa berjalan. Penulis punya pengalaman berhubungan dengan birokrasi pemkab dan melihat budaya KKN belum sepenuhnya hilang.


Ketiga; bupati dan wakil bupati harus siap melayani masyarakat dan bukannya minta dilayani. Mental melayani tidak hanya membuat birokrasi pemerintah makin dekat dengan masyarakat tetapi juga mendorong fungsi dan peran birokrasi menjadi lebih efektif dan efisien. Sebaliknya, mental dilayani hanya akan menjauhkan pemimpin dan birokrat dari rakyat, dan rawan penyelewengan. Studi Banding Dalam kaitan ini, bupati harus memastikan jajarannya siap bekerja tanpa pamrih untuk masyarakat, apalagi melakukan pungli dan sejenisnya. Pastikan jajaran birokrasi dekat dengan masyarakat serta siap melayani secara cepat dan murah. Bupati bisa mencontoh keberhasilan Wali Kota Solo Joko Widodo dan Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto yang baru-baru ini meraih Bung Hatta Anticorruption Award (BHACA).


Dua tokoh tersebut dinilai berhasil memajukan daerahnya. Jokowi, sebutan populer Wali Kota Solo, dinilai sangat peduli dengan kehidupan masyarakat, dan di bawah kepemimpinannya Solo maju pesat. Dia juga dianggap berhasil menata 5.817 pedagang kaki lima (PKL) tanpa ada unjuk rasa.


Pedagang diberikan kios dengan membayar retribusi Rp 3.000 per hari. Bahkan dia menganggap pedagang kecil sebagai potensi, yang ditunjukkan dengan kontribusi yang signifikan pada kenaikan PAD, khususnya sektor pasar tahun 2008, yakni dari Rp 7 miliar naik menjadi Rp 12 miliar (SM, 01/11/10).


Adapun Herry dikenal sebagai sosok egaliter yang setia melayani masyarakat. Baginya jabatan adalah amanah yang harus diemban dengan sebaik-baiknya untuk melayani. Dia berpendapat bahwa kekuasaan pada dasarnya bukan untuk menguasai melainkan untuk melayani. Apa yang dilakukan dua pemimpin daerah tersebut harus menjadi cermin positif bagi bupati dan wakil bupati Pemalang yang baru, mengingat banyak pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan.


Jika memungkinkan, tak ada salahnya mengalokasikan dana APBD untuk studi banding ke Solo atau Yogyakarta, guna mengeksplorasi konsep bagaimana menjadi pemimpin sekaligus pelayan masyarakat, yang tidak hanya dekat dengan rakyat, tetapi juga bisa memajukan daerah dan menyejahterakan masyarakat. Masa pencitraan sudah selesai, sekarang saatnya untuk kembali bekerja. (10)


— M Fatkhuri, Ketua Asosiasi Perantau Cibuyur Kranding 02 Warungpring Pemalang, tinggal di Jakarta. Alumnus program S2 Kebijakan Publik Crawford School Australian National University (ANU) Canberra



Baca Selengkapnya!

PEMILUKADA PEMALANG 2010 DAN TANTANGAN PEMIMPIN KEDEPAN
Oleh M. Fatkhuri
Ketua Asosiasi Perantau Cibuyur Kranding 02, Warungpring Pemalang tinggal di Jakarta
Selesai sudah pelaksanaan pemilukada di Kabupaten Pemalang. Pemilukada yang diselenggarakan pada hari minggu, tanggal 31 Oktober 2010 diikuti oleh empat pasang calon antara lain Yugo-Sri (Gerindra dan Hanura), Sumadi Sugondo-Sukaesih (Golkar), Junaedi-Agung (PDIP, Demokrat, PPP, PKB), dan Kun-Endang (PAN dan PKS). Hasil perhitungan akhir quick account dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Jaringan Isu Publik (JIP) menunjukan, keempat pasang calon mendapatkan suara masing-masing Yugo-Sri (2.9 persen), Sugondo-Sukaesih (33.54 persen), Junaedi-Agung (45.64 persen) dan Kun-Endang (17.87 persen). Hasil ini menempatkan Junaedi-Agung sebagai kandidat cabup dan cawabup dengan perolehan suara tertinggi meskipun hasil resmi masih menunggu hasil penghitungan manual yang akan ditetapkan dalam rapat pleno Komisi Pemilihan Umum Daerah pemalang. Tingginya perolehan suara Junaedi-Agung juga menunjukan bahwa para pemilih (voters) mempunyai kecendrungan lebih memilih figur yang sudah lama dikenal daripada pertimbangan lain seperti visi, misi, program kerja dan terutama faktor kesetaraan gender. Terbukti, dari empat pasangan calon, hanya junaedi satu-satunya kandidat yang tidak menggandeng figur perempuan sebagai cawabup, namun mendapatkan berkah perolehan suara paling banyak, diuntungkan dengan posisi incumbent (wakil bupati) yang juga dikenal low profile.



Dari sisi teknis, pelaksanaan pemilukada berjalan aman, tertib dan lancar. Meskipun ada kendala yang ditemui, namun tidak mengganggu teknis pelaksanaan pemilukada. Namun demikian, secara subtansi, pemilukada masih menyisakan berbagai macam persoalan fundamental. Pertama, berdasarkan hasil perhitungan sementara, suara golput justru sangat dominan atau mempunyai prosentase yang sangat tinggi. Data dari KPUD Pemalang menyebutkan bahwa dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilukada sebanyak 1.049.961, hasil sementara jumlah suara sah 446. 612 dari 78.10 persen suara yang sudah masuk (www.panturanews.com, 31 Oktober 2010). Melihat prosentase ini, bisa diprediksi bahwa golput bisa mencapai lebih dari 40 persen dari total DPT. Jika suara sah 78.10 persen adalah 446.612, maka jumlah total 100 persen suara sah menjadi 571.846, sehingga jumlah yang tidak menggunakan hak pilihnya sebanyak 478.115 dari jumlah total DPT atau setara dengan 45.54 persen. Jika mengacu kepada hasil quick account LSI dan JIP, maka angka golput menjadi pemenang nomor dua dengan selisih sangat tipis yakni 0.10 dari Junaedi-Agung yang memperoleh 45.64 persen. Tingginya angka Golput ini harus menjadi bahan evaluasi bagi seluruh stakeholders terutama Komisi Pemilihan Umum Daerah setempat.

Masalah Kedua adalah maraknya praktek money politik juga perlu menjadi bahan perhatian tersendiri sebab secara tidak langsung hal ini telah menodai pelaksanaan pesta demokrasi, dan pada derajat tertentu bisa berujung pada kurangnya legitimasi pemerintahan ke depan.

Menyoal fenomena Golput

Tingginya angka Golput harus menjadi bahan pelajaran bagi semua pihak. Akar masalah harus secepatnya dicari sehingga di kemudian hari kenyataan semacam ini bisa diminimalisir. Sejauh yang penulis ketahui, Golput dalam pemilukada kabupaten pemalang diakibatkan oleh dua macam sebab. Pertama, secara umum pada dasarnya masyarakat sudah terdaftar, akan tetapi sebagian dari mereka tidak menghadiri Tempat Pemungutan Suara (TPS) karena ada urusan yang mereka anggap lebih penting seperti harus bekerja dan sebagainya. Contoh, di dua TPS (15 dan 16) kelurahan Kebondalem, kecamatan pemalang, dari 500 warga yang mempunyai hak pilih hanya sedikit sekali dari mereka yang menggunakan hak pilihnya karena alasan pekerjaan, malas karena pemilukada tidak merubah nasib hidup mereka serta alasan lain (www.panturanews.com, 31 Oktober 2010). Kedua, keengganan sebagian masyarakat untuk mendatangi TPS karena tidak diberi uang oleh pasangan calon. Fakta menunjukan bahwa sebagian masyarakat tidak memilih karena mereka tidak diberi uang pengganti, padahal di desa lain beberapa anggota masyarakat menerimanya. Contoh, sebagian warga desa tumbal kecamatan comal mengatakan bahwa mereka malas pergi ke TPS karena tidak diberi uang sementara tetangga desa mereka yakni desa Sekayu kebanyakan pemilih menerimanya tiap orang sebesar Rp.10.000 (www.panturanews.com, 31 Oktober 2010)
Untuk menjawab masalah pertama, jika benar ketidakmauan untuk pergi ke TPS karena masyarakat menganggap bahwa pemilukada bukan jawaban atas masalah yang mereka hadapi sehari-hari, tentu pemerintah dan pihak terkait harus merespon hal ini secara serius. Fenomena ini menjadi bahan evaluasi terutama bagi para politisi dan khususnya pemerintah daerah. Apa yang dirasakan masyarakat merupakan sebuah refleksi bahwa pemilihan baik presiden maupun kepala daerah tidak banyak memberikan kontribusi positif bagi perbaikan hidup mereka. Mereka menganggap bahwa pemilukada sering diselenggarakan, namun yang menikmati justru segelintir elit yang dekat dengan kekuasaan. Sebaliknya harapan masyarakat untuk menikmati perbaikan nasib tak kunjung tiba. Kondisi ini pada giliranya membuat masyarakat di satu sisi menjadi apatis untuk mengikuti pemilukada, dan pada sisi yang lain membuat mereka lebih rasional dalam menentukan pilihan. Apatisme masyarakat ditunjukan dengan menganggap pemilukada bukan sesuatu yang penting, sehingga mereka tidak lagi mempunyai kepedulian terhadap penyelenggaraan pemilukada. Sementara, tindakan rasional terlihat dari sikap mereka yang akan memilih kalau hasil dari pemilukada betul-betul memberikan efek yang jelas bagi perbaikan kehidupan mereka.
Preferensi politik masyarakat dalam karakteristik seperti ini tidak bisa secara serampangan dikatakan sebagai tindakan apolitik. Dalam kondisi dimana masyarakat sudah mulai tercerahkan
serta dewasa dalam berpolitik, keputusan untuk melakukan sesuatu salah satunya diukur dari pertimbangan seberapa besar insentif yang ia akan terima. Tindakan yang demikian biasa disebut sebagai rational action (tindakan rasional). Dalam rational choice theory, seorang individu akan mempertimbangkan cost dan benefits dalam mengambil sebuah keputusan. Jika benefits yang mereka terima lebih besar daripada cost yang mereka keluarkan, maka seseorang
akan mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu. Sebaliknya, jika ia menganggap melakukan sesuatu itu tidak akan memberikan dampak apa-apa pada perbaikan hidup mereka, maka seseorang tidak akan melakukannya. Kondisi inilah yang disebut Green (2002) sebagai pilihan merupakan refleksi dari keuntungan/kegunaan yang maksimal atau choices reflect utility
maximization.
Berkaitan dengan pertanyaan kedua, ketidakmauan masyarakat karena tidak diberi uang merupakan fakta miris yang harus menjadi perhatian publik. Budaya money politik sudah sedemikian hebatnya menjalar di tubuh elit-elit politik kita yang pada giliranya sukses menjadikan masyarakat sebagai sekelompok orang peminta-minta. Mindset masyarakat yang seperti ini adalah imbas dari tingkah laku kotor elit politik yang demi nafsu kekuasaan menghalalkan segala cara termasuk dengan bagi-bagi uang, menawarkan seabreg jasa, dan sejenisnya pada saat kampanye. Masyarakat kita telah diajari prilaku menyimpang dimana pesta demokrasi dipersepsi sebagai arena bagi-bagi uang oleh elit politik kepada masyarakat. Dus, money politik dalam derajat tertentu justru menjadi bumerang bagi politisi lain yang cekak kondisi kantongnya. Hal ini dibuktikan dengan ketidakmauan sebagian masyarakat untuk mencoblos hanya dengan alasan tidak diberi uang oleh calon bupati dan wakil bupati.

Memberi kejutan

Terlepas dari masalah kalah-menang, siapapun pemimpinnya, bupati dan wakil bupati ke depan harus bisa memberikan kejutan bagi masyarakat pemalang yang sudah terlalu lama rindu dengan kemajuan. Diakui atau tidak, bertahun-tahun pemalang selalu dipandang sebelah mata. Tidak jarang ia selalu dibandingkan dengan kabupaten/kota disebelahnya seperti Pekalongan, Purbalingga serta Tegal dan Slawi yang relatif lebih maju baik dari segi infrastruktur maupun bidang lainya. Ada tiga masalah krusial yang harus menjadi perhatian bupati terpilih.
Pertama, bupati harus berani melakukan terobosan mau dibawa kemana pemalang dalam periode 5 tahun ke depan. Harus ada kebijakan yang secara spesifik bisa memberi dampak secara langsung tidak hanya pada tingkat pertumbuhan ekonomi daerah (pro economic growth policy), tetapi juga pada percepatan penanggulangan kemiskinan (pro poor policy) serta terbukanya lapangan kerja secara luas bagi masyarakat pemalang (pro jobs policy). Tiga area ini merupakan jantung persoalan yang harus menjadi perhatian serius bagi bupati terpilih. Desain kebijakan secara ekstrim harus dilakukan. Ekstrim dalam konteks ini adalah kebijakan yang dibuat bisa dibilang unik, beda dengan program-program pemerintah sebelumnya, serta mempunyai karakter bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak. Dus, bupati terpilih harus melakukan perombakan secara massif sehingga pemerintahan ke depan bisa lebih baik dari sebelumnya.
Kedua, bupati terpilih harus secara tegas memberlakukan konsep zero corruption dalam segala bidang terutama di jajaran birokrasi. Ia harus bisa meyakinkan publik bahwa seluruh jajaran birokrasi bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Jika masalah ini diabaikan atau diberlakukan tapi setengah-setengah, maka sebaik apapun program kerja dan janji kampanye, pada akhirnya tetap tidak akan bisa berjalan. Alih-alih mencari solusi demi kemajuan daerah, yang didapat justru menurunya legitimasi dari masyarakat serta semakin terpuruknya kondisi daerah. Terkait masalah ini, penulis punya pengalaman pribadi, bagaimana pelayanan di salah satu kantor kabupaten belum sembuh dari aroma KKN. Suatu hari ketika penulis mengurus pindah domisili, penulis disuruh bayar dengan nominal lebih dari seharusnya. Laiknya sebuah urusan, wajar kiranya jika kita dimintai uang administrasi. Namun, yang tidak wajar apabila ada istilah uang wajib dan uang sunah. Istilah “wajib sunah” ini penulis buat sendiri untuk menggambarkan betapa birokrasi di kabupaten pemalang belum bisa lepas dari persoalan klasik (KKN) ini. Uang wajib adalah nominal yang tertera dalam kuitansi sedangkan uang sunah adalah nominal yang harus kita berikan di luar nominal yang tertulis dalam kuitansi atau meminjam kata-kata oknum tersebut “terserah bapak mau kasih berapa”. Yang menjadi masalah adalah bukan pada besar kecilnya nominal yang harus diberikan kepada oknum pegawai, akan tetapi mental koruptif tersebut yang harus menjadi perhatian serius bupati sebagai kepala pemerintahan.
Ketiga, bupati dan wakil bupati harus menjalankan konsep melayani bukan dilayani. Mental melayani tidak hanya menjadikan birokrasi pemerintah semakin dekat dengan masyarakat akan tetapi juga bisa mendorong fungsi dan peran birokrasi menjadi lebih efektif dan efesien. Sebaliknya mental dilayani tidak hanya menjauhkan pemimpin dan birokrat dari rakyat, tetapi juga rawan dengan berbagai macam penyelewengan karena menganggap diri sebagai penguasa yang merasa berkuasa atas segala hal. Dalam kaitan ini, bupati terpilih harus memastikan segala jajarannya siap bekerja untuk masyarakat tanpa embel-embel apapun, apalagi melakukan pungli dan sejenisnya. Pastikan jajaran birokrasi dekat dengan masyarakat serta sebisa mungkin bisa melayani dengan cepat dan murah.
Bupati terpilih harus bisa mencontoh keberhasilan Wali Kota Solo dan Jogya yang baru-baru ini mendapatkan Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA). Wali Kota Solo (Joko Widodo) dan Wali Kota Yogyakarta (Herry Zudianto) adalah dua sosok pemimpin yang berhasil memajukan daerahnya. Salah satu contoh dari keberhasilan Joko adalah sebagai pemimpin, dia sangat peduli dengan kehidupan masyarakat dimana di bawah kepemimpinannya kota Solo mengalami perubahan yang pesat. Joko salah satunya berhasil menata 5.817 pedagang Kaki Lima tanpa ada unjuk rasa. Pedagang diberikan kios dengan membayar retribusi Rp 3.000 per hari. Menurutnya, PKL merupakan potensi yang tidak perlu disingkirkan dan terbukti usaha ini tidak sia-sia dimana Kota solo mengalami kenaikan pendapatan asli daerah (PAD) dari pasar yang semula Rp 7 miliar naik menjadi Rp 12 miliar pada tahun 2008 (Suara Merdeka, 1 November 2010)
Setali tiga uang, Heri (wali kota Jogya) dikenal sebagai sosok egaliter yang setia melayani masyarakat. Baginya jabatan adalah amanah yang harus digunakan dengan sebaik-baiknya untuk melayani masyarakat. Dia berpendapat bahwa kekuasaan padadasarnya bukan untuk menguasai, akan tetapi untuk melayani.
Apa yang dilakukan dua orang pemimpin tersebut harus menjadi lesson learned terutama bagi bupati pemalang terpilih nanti. Sebab ada banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi. Jika dimungkinkan, alokasikan dana yang diambil dari APBD untuk melakukan studi banding ke dua daerah tersebut sehingga bupati terpilih bisa mendapatkan banyak pelajaran berharga tentang bagaimana menjadi seorang pemimpin dan pelayan masyarakat yang tidak hanya dekat dengan rakyat, akan tetapi juga bisa memajukan daerah dan mensejahterakan rakyatnya.Masa pencitraan sudah selesai, sekarang masanya untuk kembali bekerja. Selamat kepada bupati dan wakil bupati terpilih.


Baca Selengkapnya!

AKAR RADIKALISME DAN TERORISME DI INDONESIA
Fatkhuri, MA, MPP
Pemerhati Politik dan Sosial
11 Oktober 2010

A. Pengantar
Sejak bergulirnya reformasi di Indonesia tahun 1998, radikalisme dan terorisme menjadi ramai diperbincangkan. Reformasi membuka kran demokrasi yang tertutup selama 32 tahun selama rezim orde baru berkuasa. Alhasil, ruang eskpresi yang terbuka lebar mendorong lahirnya banyak organisasi dan gerakan keagamaan. Dalam masa ini, berbagai macam kelompok/organisasi baik politik, ekonomi, agama dan sebagainya menemukan tempat untuk mengekspresikan kepentingannya. Menurut Azra (2003), munculnya kelompok radikal di Indonesia diakibatkan oleh disamping euforia demokrasi, juga karena dicabutnya undang-undang anti-subversi oleh Presiden Habibie yang pada gilirannya memberikan ruang yang lebar bagi kelompok ekstrimis untuk mengekspresikan gagasan dan aktifitas mereka (hal. 50). Sependapat dengan Azra, Abuza (2007) juga mengatakan bahwa jatuhnya rezim otoriter Soeharto memicu lahirnya kekuatan civil society secara masif yang pada gilirannya memberikan ruang kepada kelompok tertentu termasuk di dalamnya kelompok radikal (uncivil) yang mengekspresikan kepentingannya dengan cara menebarkan kebencian dan intoleransi dengan menggunakan cara-cara kekerasan (violence) (hal.67).
Diskursus radikalisme dan terorisme semakin memanas pasca meletusnya peristiwa 11 September 2001 menyusul hancurnya dua gedung kembar Word Trade Center (WTC) dan Gedung Pertahanan Pentagon di Amerika Serikat. Banyak kalangan barat menilai, pelaku bom tersebut dilakukan oleh kelompok islam militan atau ekstrimis Al-Qaida pimpinan Osama Bin Laden. Praktis sejak saat itu banyak negara-negara barat melihat Islam sebagai agama yang identik dengan kekerasan.Stereotype ini diperkuat dengan adanya aksi bom lanjutan yang marak terjadi di hampir semua belahan dunia seperti Indonesia (peristiwa Bom Bali I dan II), negara-negara timur tengah (bom Afganistan dan Pakistan) bahkan di Negara-negara Eropa.


Sebagaimana diuraikan di awal, reformasi melahirkan banyak gerakan keagamaan termasuk kelompok islam militan (islam radikal) yang mengkonsolidasikan diri dan menyerukan diberlakukannya syari’ah islam bahkan Negara Islam (daulah islamiyah) di Indonesia. Beberapa organisasi yang termasuk dalam kelompok ini adalah Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Laskar Jihad (LJ), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Jamaah Islamiyah (JI).
Secara umum, organisasi-organisasi diatas acapkali turun jalan (demonstrasi) untuk menuntut pemerintah memberlakukan syari’at islam dan tidak jarang kelompok islam militan ini melancarkan aksinya dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Salah satu cara yang dipakai kelompok ini adalah melakukan razia ke Kafe, diskotik, kasino dan lain-lain terutama di bulan ramadhan. Fenomena ini pada gilirannya memantik banyak kecaman dari publik sebab keberadaannya tidak hanya meresahkan masyarakat tetapi juga menimbulkan rasa takut publik akan ancaman teror yang sewaktu-waktu bisa terjadi.
Dengan melihat realitas tersebut diatas, pertanyaanya adalah apa saja faktor-faktor yang mendukung terbentuknya radikalisme dan terorisme di Indonesia. Tulisan akan menjelaskan bahwa radikalisme dan terorisme di Indonesia disebabkan karena dua masalah fundamental yakni deprivasi ekonomi (kemiskinan) dan ketidakadilan politik.

B. Radikalisme dan terorisme: Tinjauan Teoritis
Arti Radikalisme dan Terorisme
Sebelum jauh mendiskusikan faktor-faktor penyebab radikalisme dan terorisme, alangkah baiknya lebih dahulu melacak apa sebenarnya arti/makna dari radikalisme dan terorisme itu sendiri. Hal ini penting untuk menghindari kesalahan penafsiran dan misperspesi sehingga memudahkan kita memahami persoalan. Sebagaimana dikatakan oleh Copland (2005) bahwa tidak hanya deskripsi teroris yang mengalami kontradiksi satu sama lain, tetapi juga deskripsi yang sama bisa dipakai untuk banyak orang di dalam komunitas masyarakat yang berpartisipasi dalam aksi teror (hal.43).
Uraian Copland di atas merefleksikan bahwa radikalisme dan terorisme adalah masalah kompleks. Artinya, keduanya bisa mendatangkan ruang perdebatan serta tafsiran yang berbeda-beda sesuai dengan konteks, kepentingan dan kondisi yang menyertainya.
Secara literal, kata radikal berasal dari bahasa latin yang berarti ‘akar’. Sebagaimana dikutip oleh Adian Husaini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), radikal diartikan sebagai “secara menyeluruh”, “habis-habisan”, “amat keras menuntut perubahan”, dan “maju dalam berpikir atau bertindak”, sedangkan “radikalisme”, diartikan sebagai: “paham atau aliran yang radikal dalam politik”, “paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara yang keras atau drastic”, “sikap ekstrim di suatu aliran politik” (Republika 8/9/2009). Melihat definisi diatas, kita bisa menganalisa, aktifitas atau tindakan dalam bentuk seperti apa yang termasuk kategori radikal. Sementara dalam konteks gerakan islam, aktifitas yang tergolong radikal mempunyai beberapa kriteria tersendiri. Berkaitan dengan hal ini, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta (PPIM) (2004) sebagaimana dikutip oleh Husaini menguraikan empat kriteria radikal antara lain sebagai berikut:
1. mempunyai keyakinan ideologis tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung;
2. dalam kegiatannya mereka seringkali menggunakan aksi-aksi yang keras, bahkan tidak menutup kemungkinan kasar terhadap kegiatan kelompok lain yang dinilai bertentangan dengan keyakinan mereka;
3. secara sosio-kultural dan sosio-religius, kelompok radikal mempunyai ikatan kelompok yang kuat dan menampilkan ciri-ciri penampilan diri dan ritual yang khas;
4. Kelompok ‘Islam radikal’ seringkali bergerak secara bergerilya, walaupun banyak juga yang bergerak secara terang-terangan (Republika, 8/9/2009).
Sama halnya dengan radikalisme, terorisme mempunyai arti ancaman dan tindakan dalam rangka membuat orang lain takut. Secara harfiah, kata terorisme berasal dari bahasa latin “terrere” yang berarti ‘bergetar’, dikombinasi dengan akhiran ‘isme’ yang berarti ‘mempraktekan’ (Keling Dkk 2009, hal. 32).
Sedangkan menurut Howard (2001), terorisme adalah salah satu metode yang digunakan dalam peperangan. Dia memberikan tiga kriteria aktifitas yang termasuk kategori tindakan teror sebagai berikut:
1. aktifitas yang berhubungan dengan inisiasi propaganda atau menarik perhatian dunia internasional dengan cara menunjukan kemampuan (show of force);
2. aktifitas yang berhubungan dengan upaya memperlemah musuh;
3. gerakan profokasi dan meyakinkan bahwa musuh bisa diberdaya yang pada gilirannya dapat menarik simpati dunia internasional bahwa tujuan-tujuan mereka telah tercapai (Keling dkk. 2009, hal. 32).
Secara umum, terorisme termasuk tindakan kriminal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dalam rangka membuat kerusakan sehingga tidak jarang mengakibatkan kerusakan fasilitas publik dan jatuh korban. Hal ini sebagaimana diuraikan oleh Henderson (2001)yang merujuk pada definisi yang dibuat oleh Amerika bahwa terorisme adalah aktifitas kriminal yang melibatkan kekuatan(kekerasan) secara sengaja untuk tujuan-tujuan tertentu (Keling dkk 2009, hal. 32).
Berkaitan dengan gerakan Islam radikal/militan, Abuza (2007) membagi empat kategori dalam kelompok ini. Pertama adalah muslim militan (laskar)yang melancarkan aksinya dengan kekerasan (violence), akan tetapi hanya dalam batas tertentu. Mereka ini disebut juga sebagai “reactive jihadists” yang mana kekerasan digunakan untuk merespon situasi atau kejadian tertentu. Kedua adalah kelompok militan “Islamist”, yang mana gerakannya tersporadis, cenderung menggunakan kekerasan, serta pengetahuan dan interpretasi kelompok ini terhadap nilai-nilai islam sangat literal (rudimentary). Ketiga adalah kelompok yang terdiri dari mahasiswa radikal atau kelompok berbasis kampus (university-based organizations). Kelompok ini sangat anti terhadap barat yang mana para pengikutnya cenderung simpatik terhadap penyebab-penyebab yang lebih radikal. Keempat adalah organsiasi salafi murni (pure Salafi organizations) dan organisasi dakwah seperti Hizb ut-Tahrir yang melihat aksi politik dan aksi militer sebagai gangguan dari tujuan purifikasi agama yang menjadi agenda mereka (Abuza 2007, hal. 67).

Akar radikalisme dan terorisme
Studi tentang radikalisme dan terorisme banyak menguraikan bahwa radikalisme dan terorisme disebabkan oleh berbagai macam faktor seperti ekonomi dan politik. Dari sisi ekonomi, hasil riset Djelantik (2006) di Jawa Barat menyebutkan bahwa salah satu faktor pendukung radikalisme dan terorisme adalah karena ketidakpuasan publik (dissatisfaction) terhadap kebijakan pemerintah yang tidak adil terhadap rakyat kecil. Selaras dengan padangan Djelantik, Gottlieb (2009) juga menguraikan bahwa dalam teori ilmu ekonomi liberal, setiap individu mempunyai motivasi untuk hidup berkecukupan secara materi (material well-being). Dalam kaitan ini, mereka yang mempunyai kecukupan materi akan menerima sebuah sistem dimana mereka tinggal dan beraktifitas secara damai, sebaliknya mereka yang secara sosio-ekonomi mengalami kesengsaraan (distress) dan kekurangan (deprivation) mempunyai kecendrungan untuk berbuat radikal dan besar kemungkinan menggunakan cara kekerasan (violent movement) termasuk gerakan teroris (terrorist movement).
Uraian diatas merefleksikan bahwa kemiskinan akan memudahkan kelompok tertentu untuk memperdaya mereka yang miskin untuk tujuan-tujuan politis, idiologis, dan sebagainya. Sebagaimana Hippel (2009) juga mengemukakan bahwa kemiskinan akan memungkinkan seseorang mudah berbuat radikal dan melakukan aksi teror sebab mereka tertarik untuk mendapat bantuan jasa (charity) dari pihak lain. Hipel (2009) memberikan contoh bahwa beberapa kelompok islam dan partai politik, termasuk gerakan Al-Qaeda dapat melebarkan pengaruhnya hanya dengan memberikan bantuan jasa terhadap masyarakat miskin. Menurut Hipel, kelompok teroris telah meluaskannya pengaruhnya dan mendapatkan pengikut banyak karena bantuan (charity) yang mereka berikan (2009, hal.53). Hipel menunjukan fakta bahwa beberapa gerakan teroris di Pakistan dan Afghanistan mengembangkan gerakannya dengan cara memberikan bantuan langsung kepada masyarakat miskin dan terbukti beberapa orang yang melakukan bom bunuh diri berasal dari keluarga tidak mampu.
Dalam konteks politik, radikalisme dan terorisme bisa disebabkan oleh perlakuan diskriminatif penguasa terhadap kelompok tertentu. Diskriminasi tersebut bisa berupa tidak diakomodasinya aspirasi atau keinginan kelompok tersebut sehingga mengakibatkan tindakan frontal dan anarkis. Contohnya adalah aksi anarkisme yang dilakukan oleh kelompok islam militan yang bertujuan untuk mengganti sistem sekuler (demokrasi) dengan syari’ah islam (daulah islamiyah). Kelompok ini beranggapan bahwa demokrasi adalah sistem politik barat yang harus ditolak karena tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam. Dalam kaitan ini, mengutip Crenshaw (1981), Keet menguraikan bahwa terorisme lahir karena sebuah kegagalan perjuangan politik dalam jangka waktu yang lama. Pada awalnya mereka mengikuti garis politik yang telah ada, namun karena berkali-kali gagal akhirnya membentuk faksi politik sendiri dan melakukan aksi terorisme ( 2003, hal.24). Dalam risetnya, Keet (2003) juga mengatakan bahwa untuk menghindarkan potensi kekerasan atau tindakan teror, pemimpin dalam sebuah Negara demokrasi harus mempunyai kemampuan merespon kemauan kelompok radikal yang pada gilirannya mengurangi informasi yang tidak simetris sehingga potensi konflik bisa diminimalisir (hal.60).
Disisi lain, sebagaimana dikutip oleh Copland (2005), Feliks Gross juga mengklaim bahwa terorisme lahir karena kondisi tertentu seperti sosial dan politik, keberadaan organisasi yang tidak sepakat dengan kondisi yang ada, dan adanya individu yang ingin berpartisipasi. Jika salah satu kondisi ini tidak terpenuhi maka kemungkinan prilaku teroris tidak akan ada (hal.2). Dari penjelasan ini jelas bahwa semua elemen saling melengkapi terjadinya aksi terorisme. Dengan demikian, hasil interaksi semua komponen tersebut pada akhirnya menciptakan sebuah aktifitas radikal atau ekstrim. Kondisi ini menegaskan argumentasi Copland (2005) bahwa radikalisme dan terorisme lahir sebagai sebuah hubungan/interaksi (interplay) antara faktor sosio-kultur masyarakat, karakteristik individu, dan berbagai dinamika dari organisasi teroris (hal.43).

C. Radikalisme dan Terorisme di Indonesia
Selama ini umum dipahami bahwa akar masalah radikalisme dan terorisme adalah persoalan agama (perbedaan idiologi) yakni Islam versus barat (non Islam). Perpsektif ini tidak salah sebab secara umum kelompok islam radikal menginginkan islam sebagai prinsip hidup yang harus diadopsi dalam sistem ketatanegaraan. Namun demikian, apakah agama (islam) betul-betul menjadi sebab kemunculan radikalisme bahkan terorisme? Tentu saja kita tidak bisa terburu-buru memberikan jawaban bahwa agama menjadi faktor determinan dalam masalah ini. Dalam kaitan ini, kita perlu mempertimbangkan akar masalah radikalisme dan terorisme dengan menggunakan perspektif lain.
Melacak akar radikalisme dan terorisme sebetulnya sangat kompleks. Artinya radikalisme dan terorisme tidak hanya disebabkan oleh faktor tunggal sebagaimana disebutkan diatas. Aspek politik, sosial dan ekonomi juga merupakan bagian integral dan fundamental yang bisa menjadi sebab kemunculan radikalisme dan terorisme.
Penting dicatat bahwa radikalisme dan terorisme bukan fenomena baru di Indonesia. Dalam sejarahnya, radikalisme dan terorisme disebabkan oleh adanya keinginan sekelompok umat islam yang menginginkan permunian ajaran agama pada masa pra-kemerdekaan. Dalam konteks ini, sebagian umat islam dianggap tidak lagi berjalan sebagaimana ajaran yang dianjurkan oleh Rasulullah dan tuntunan dalam Al-Qur’an. Dus, faktor internal menjadi pemicu keberadaan radikalisme daripada ancaman dari luar sebagaimana yang terjadi saat ini. Faktor internal yang terjadi pada sebelum periode modernisasi menurut Azyumardi Azra (2003) termasuk ditandai dengan respon umat islam terhadap kemunduran entitas politik islam dan konflik yang berkelanjutan antar sesama umat islam (hal. 47). Menurut Azra, banyak umat islam percaya bahwa kondisi memprihatinkan yang dihadapi umat islam pada saat pra-kolonial disebabkan karena degradasi moral dan sosial umat islam sebagai dampak dari menganut kepercayaan dan praktek agama yang salah sehingga radikalisme muncul karena kebanyakan muslim meninggalkan atau tidak lagi merujuk pada keaslian dan kebenaran ajaran agama hal.47). Alhasil, beberapa kelompok umat islam merasa perlu untuk meluruskan umat islam yang telah tersesat tidak hanya dengan cara dakwah bil-lisan (ucapan) akan tetapi juga dengan kekerasan (jihad).
Fakta ini juga menunjukan bahwa kemunculan radikalisme dan terorisme pada masa sebelum kemerdekaan lebih banyak dipengaruhi oleh faktor idiologi (agama). Contoh dari Gerakan ini termasuk kelompok Padri di Minangkabau Sumatera Barat. Gerakan Padri lahir dengan agenda untuk menyebarkan ajaran wahabi di Indonesia. Gerakan ini muncul sejak abad 16 Masehi sampai awal abad 18. Menurut Azumardy Azra, Gerakan Padri merupakan organisasi yang bertujuan untuk mengembalikan kemurnian ajaran Islam sebagaimana diajarkan Rasulullah SAW dan sahabat-sahabatnya (2003, hal. 47). Namun demikian, pada perkembangannya gerakan Padri tidak mendapatkan sambutan yang menggembirakan dari masyarakat, sehingga gerakan ini kemudian mati.
Pada konteks saat ini, radikalisme dan terorisme memiliki corak yang sedikit berbeda dengan pada saat sebelum kemerdekaan sebagaimana Gerakan Padri. Radikalisme dan terorisme lahir karena berbagai macam sebab atau tidak hanya karena persoalan agama. Berikut ini adalah dua faktor pendukung terhadap kemunculan radikalisme dan terorisme di Indonesia yakni deprivasi ekonomi dan ketidakadilan politik.


Deprivasi Ekonomi
Berkaitan dengan masalah ekonomi, ada dua alasan mendasar mengapa ketidakadilan ekonomi menjadi faktor pendukung lahirnya radikalisme dan terorisme.
Pertama, radikalisme dan terorisme lahir sebagai akibat dari rasa frustasi beberapa kelompok orang miskin yang tidak bisa survive dalam kehidupannya. Kelompok yang mengalami under-pressure dan frustasi berkepanjangan rentan terhadap dua hal; 1) berbuat radikal (kekerasan); 2) mudah dipengaruhi pihak luar (kelompok tertentu) untuk berbagai macam kepentingan. Alhasil, kondisi ini akan sangat memudahkan para pimpinan teroris (jihadis) untuk melakukan indoktrinasi dengan ajaran yang menyesatkan terhadap kelompok miskin.
Gangguan psikologi (frustasi) pada seseorang mengakibatkan mereka akan menerima apapun ajaran tanpa reserve, terlebih ajaran tersebut menggunakan justifikasi agama. Argumentasi ini bisa ditelisik dari fakta bahwa para aktor pengeboman yang selama ini terjadi di berbagai daerah di Indonesia seperti Imam Samudera dari Banten dan Amrozi dari Lamongan Jawa Timur adalah orang-orang dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah. Disisi lain pelaku bom di depan Kedutaan Besar Australia di Kuningan yakni Ahmad Hasan yang merupakan karyawan PT Pertani Blitar dan Agus Ahmad seorang karyawan PT Sajira di Jakarta juga berasal dari latar belakang ekonomi lemah (CMMI 2006).
Sama halnya dengan pelaku bom di beberapa tempat sebagaimana disebutkan di atas, penangkapan beberapa anggota teroris di Kabupaten Temanggung tahun 2009 juga menjadi bukti bahwa kemiskinan melahirkan rasa frustasi yang berujung pada aksi radikal.Sebagaimana diketahui bersama, para aktor yang terlibat aksi teroris di Temanggung umumnya adalah kelompok pemuda yang frustasi karena kehidupan di desanya tidak menjanjikan. Fakta menunjukan bahwa sejak akhir tahun 1990 dan awal 2000, masyarakat pedesaan di Temanggung mengalami goncangan ekonomi seiring jatuhnya harga komoditas tembakau yang semula menjadi penyangga kesejahteraan warga setempat. Jatuhnya harga tembakau tersebut membuat sebagian warga desa tidak lagi dapat menikmati kesejahteraan sebagaimana yang mereka rasakan sebelumnya. Pada perjalannya, generasi muda pun memilih pergi ke luar daerah untuk mendapatkan penghidupan dan masa depan lebih baik. Namun demikian, fakta tidak seindah mimpi yang mana tidak semua dari mereka mendulang kesukesan. Alhasil, banyak anak muda yang pergi ke luar kota untuk merantau kemudian terjerumus dalam keputusasaan yang berujung pada aksi radikal (Kompas, 24 Agustus 2009).

Kedua, kebijakan pemerintah dalam bidang-bidang tertentu terutama ekonomi yang memarginalkan masyarakat bawah juga mengakibatkan ketidakpuasan publik yang pada gilirannya melahirkan tindakan radikal pada diri seseorang. Meskipun tidak dipengaruhi pihak luar untuk kepentingan tertentu (misalnya: agama) sebagaimana disebutkan dalam poin pertama, marginalisasi dan diskriminasi pada akhirnya menyulut ketidakpuasan publik terutama kelompok miskin sehingga membuat kelompok tersebut mudah melakukan aksi kekerasan.
Fakta ini juga menkonfirmasi hasil riset Djelantik (2006) di Jawa Barat dimana dalam sejarahnya banyak kelompok teroris dan radikal berasal dari daerah ini. Dia menyebutkan bahwa radikalisme dan terorisme disebabkan oleh adanya keterbatasan akses terhadap sumber-sumber ekonomi yang diakibatkan oleh kebijakan pemerintah yang diskriminatif. Dia juga menambahkan bahwa disparitas ekonomi yang sangat tinggi antara si kaya dan si miskin adalah realitas nyata di daerah tersebut. Fakta menunjukan bahwa radikalisme tumbuh subur karena kebijakan ekonomi pemerintah hanya terpusat pada pengembangan infrastruktur dan pada saat yang sama mengabaikan pengembangan sumber daya manusia dan aspek sosial budaya sehingga masyarakat pedesaan termarginalisasi di dalam sistem ekonomi (2006, hal.8). Kondisi inilah yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpuasan masyarakat sehingga memicu aksi radikal (kekerasan).

Ketidakadilan Politik
Tidak bisa dipungkiri, politik merupakan salah satu faktor pendukung kemunculan radikalisme dan terorisme di Indonesia. Ada dua alasan mendasar mengapa politik menjadi akar masalah radikalisme dan terorisme.
Pertama, secara umum kelompok radikal yang didalamnya termasuk Front Pembela Islam (FPI), Majlis Mujahidin Indonesia (MMI) untuk menyebut beberapa nama beranggapan bahwa sistem politk (demokrasi) di Indonesia dianggap tidak selaras/kompatibel dengan Islam. Menurut kelompok ini, Indonesia sebagai Negara muslim terbesar di dunia harus memberlakukan Islam sebagai idiologi Negara. Mereka beranggapan bahwa sistem demokrasi adalah produk barat dan harus ditolak habis-habisan. Demokrasi juga dianggap tidak bisa menyelesaikan persoalan kebangsaan. Contoh, fenomena korupsi yang begitu akut, angka kemiskinan yang tidak kunjung turun dan merajalelanya pornografi dan semacamnya adalah salah satu bukti bahwa demokrasi dinilai tidak bisa memberikan solusi atas berbagai macam persoalan. Kelompok radikal menganggap bahwa Islam adalah satu-satunya sistem politik yang bisa membawa kemashalahatan bagi umat manusia. Alhasil, realitas inilah yang pada gilirannya menimbulkan gejolak politik yang mana beberapa kelompok ekstrimis kemudian melakukan aksinya demi tujuan mengganti sistem yang ada. Fenomena ini relevan dengan argumentasi Nakhleh (2009) bahwa radikalisme bahkan terorisme lahir ketika orang atau kelompok tertentu tidak lagi mempercayai efektifitas perubahan yang terjadi, dan menganggap bahwa kekerasan sebagai sebuah cara legitimate untuk tujuan politik, idiologi, dan aksi keagamaan.
Merujuk pengalaman radikalisme selama ini, salah satu upaya legal (tanpa kekerasan) yang telah dilakukan oleh kelompok militan adalah dengan mendukung pemberlakuan syariat islam (peraturan daerah/Perda) di beberapa pemerintahan daerah di Indonesia. Mereka mengklaim bahwa syariat Islam adalah solusi alternatif untuk menyelesaiakan permasalahan bangsa. Sebagaimana dikatakan oleh Ismail Yusanto sebagai Juru bicara Hizbu Tahrir Indonesia (HTI), sistem sekuler yang diterapkan di Indonesia telah memarginalkan peran agama hanya untuk urusan privat (Hasan 2007, hal 5). Yusanto juga menambahkan bahwa syariat Islam (perda Syariah) dipercaya bisa meminimalisir ketergantungan Indonesia terhadap Negara-negara barat yang terbukti tidak bisa menyelesaikan krisis ekonomi dan politik, dan perda syariah dinilai relevan untuk bisa menyelesaikan permasalah bangsa melewati batas-batas ras, budaya maupun agama (Hasan 2007).
Sejalan dengan argumen di atas, hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta tahun 2001, 2002 dan 2004 juga menguraikan bahwa ketertarikan umat islam terhadap pelaksanaan peraturan daerah (perda syariah) mengalami peningkatan. Jumlah mereka yang setuju dengan perda syariah meningkat dari 61.4 persen di tahun 2001 ke 70.6 persen pada tahun 2002, dan 75.5 persen di tahun 2004.Sementara mereka yang setuju dengan pelaksanaan hukum potong tangan bagi pelaku pencurian juga meningkat meskipun jauh lebih sedikit yakni 28.9 persen (2001), 33.5 persen (2002) dan 39.9 persen (2004) (Anwar 2009, hal.58).
Berbeda dengan kondisi diatas, organisasi Islam militan yang kerap mendapat sorotan tajam publik karena berada di belakang aksi kekerasan (teror bom) di Indonesia selama ini adalah Jamaah Islamiyah (JI). Jamaah Islamiyah adalah organiasi yang masih berkaitan erat dengan Darul Islam (DI). DI merupakan sebuah organisasi yang bercita-cita mendirikan Negara Islam pada awal-awal kemerdekaan Indonesia.
Dalam sejarahnya, berdirinya Darul Islam (DI) juga tidak bisa dilepaskan dari masalah politik kekuasaan. Meskipun menggunakan jargon/simbol agama, perjuangan yang diusung oleh DI pada dasarnya adalah perjuangan politik sebab tujuan utama dari gerakan ini adalah mendirikan Negara Islam Indonesia.
Sama halnya dengan DI, JI menganggap bahwa kekerasan dinilai sebagai cara yang efektif untuk mengganti idiologi pancasila (demokrasi) dengan sistem politik Islam. Sebagaimana dikutip dari Bubalo dan Fealy (2005), Copland menguraikan bahwa JI mempunyai pandangan bahwa untuk mengikuti garis Islam Salafi, hanya perang dan terorisme yang bisa dilakukan untuk menegakan Negara Islam sebagaimana terjadi pada masa kaum salafi (2005, hal. 6).
Terkait dengan tujuan gerakan tersebut, dalam perkembangannya, nuansa politik semakin mengental manakala aksi terorisme saat ini tidak hanya dalam rangka mengusir penduduk asing atau merusak tempat-tempat yang dianggap representasi kekuatan asing seperti kantor kedutaan, Tempat Hiburan dan sebagainya. Akan tetapi beberapa umat islam sendiri juga menjadi target serangan kaum teroris. Fakta menunjukan bahwa belum lama ini Mabes Polri mengungkapkan bahwa kelompok teroris telah menyiapkan rencana serangan dan pembunuhan terhadap presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)dan para pejabat negara pada saat upacara peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus 2010 mendatang. Mereka disinyalir akan menyerang bahkan membunuh semua pejabat yang hadir pada upacara 17 Agustus 2010 termasuk para tamu negara yang hadir (Suara Karya, 15 Mei 2010).Penyerangan itu dinilai sebagai bagian dari upaya kelompok teroris untuk mendeklarasikan negara islam di Indonesia.
Fakta di atas menunjukan bahwa disamping aksi terorisme semakin tidak terarah/tersporadis, juga mengafirmasi argumentasi Nakhleh bahwa aksi radikalisme yang berujung kekerasan juga bertujuan untuk melawan rezim Islam yang dianggap tidak islami (tidak mencerminkan nilai-nilai Islam) (2009).Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa agama secara jelas hanya dijadikan justifikasi dalam rangka mewujudukan tujuan politik para esktrimis.

Kedua, radikalisme dan terorisme tumbuh sebagai bentuk protes atas ketidakadilan Negara-negara barat terutama Amerika Serikat atas kebijakan standar ganda yang selama ini diberlakukan di Negara-negara timur tengah. Invasi AS ke Irak, kenyataan okupasi Israel terhadap Palestina yang dibiarkan merupakan fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa Amerika dinilai bertindak tidak adil terhadap Negara-negara muslim. Dari sinilah rasa nasionalisme keislaman para jihadis tumbuh. Mereka merasa bahwa ketidakadilan yang dialami masyarakat muslim di timur tengah merupakan tanggung jawab bersama umat islam di Dunia. Kekerasan yang mereka pertontonkan merupakan bentuk perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni asing (AS).

D. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa ketidakadilan ekonomi dan politik menjadi faktor paling menentukan bagi lahirnya gerakan radikalisme dan terorisme di Indoneisa. Meskipun Islam kerapkali dijadikan dasar argumentasi aksi kelompok radikal, namun nuansa ekonomi dan politik tampak jelas menjadi faktor penyebab kemunculannya.
Dalam konteks ekonomi, studi ini menjelaskan bahwa kemiskinan mendorong orang berbuat radikal karena rasa frustasi berkepanjangan. Terbukti beberapa kelompok yang terlibat dalam aksi terorisme selama ini adalah mereka yang mengalami depresi berkepanjangan setelah sekian lama hidup dalam ketidakberdayaan. Disisi lain kesenjangan ekonomi masyarakat yang diakibatkan oleh kebijakan diskriminatif pemerintah juga berkontribusi terhadap tindakan radikal.
Dalam konteks politik, penonalakan terhadap sistem politik sekuler memicu kelompok radikal berupaya untuk mengganti sistem politik tersebut dengan syariah islam. Sebagaimana diketahui bersama, Indonesia dengan mayoritas penduduk muslim di dunia bukanlah Negara Islam. Namun demikian, beberapa kelompok islam militan menginginkan agar Islam menjadi dasar negara. Motif inilah yang pada akhirnya mendorong beberapa kelompok islam garis keras berusaha melakukan perlawanan dalam rangka mendorong pemerintah untuk menerapkan Islam sebagai dasar Negara. Dorongan tersebut semakin meningkat manakala demokrasi dinilai tidak bisa memecahkan persoalan. Fenomena kemiskinan yang tetap merajalela, moral masyarakat semakin tidak tertata dan sebagaianya merupakan fakta yang tidak bisa dihindarkan yang memicu kritik tajam dari kelompok radikal. Kritik yang dilancarkan dalam taraf tertentu menggunakan aksi kekerasan. Kedua, radikalisme dan terorisme tumbuh subur dikarenakan oleh ketidakadilan politik global. Kebijakan (standar ganda) luar negeri AS terhadap Negara-negara Islam (timur tengah) menimbulkan reaksi keras terhadap kelompok Islam Indonesia. Reaksi tersebut salah satunya diimplementasikan dalam bentuk kekerasan sebagai simbol perlawanan.


REFERENSI
Abuza, Zachary 2007,Political Islam and violence in Indonesia, Routledge, London and New York
Anwar, Etin 2009, ‘the Dialectics of Islamophobia and
Radicalism in Indonesia’, Research of notes, ASIANetwork Exchange, Vol. XVI, No. 2, Spring, Hobart and William Smith Colleges
Azra, Azyumardi 2003, ‘Bali and Southeast Asian Islam: Debunking the Myths’, di Kumar Ramakrishna dan See Seng Tan (Editor), After Bali: the Threat of terrorism, Institute of Defence and Strategic Studies, Nanyang Technological University, Singapore

Coplan, Sarah 2005, Psicological Profilling of Terrorists: A Case study of Bali bombers and Jamaah Islamiyah, Australian National Internships program, Australia
Center for Moderate Muslim Indonesia (CMMI)2006,’ Ketidakadilan dan Kemiskinan Picu Radikalisme’, CMMI, 26 Maret,
Djelantik, Sukawarsini 2006, ‘Terrorism in Indonesia: the emergence of West Javanese terrorists,International Graduate Student Conference series, East-West centre working paper, No.22
Gottlieb, Stuart 2009, Debating terrorism and counterterrorism:conflicting perspectives on causes, contexts and responses, CQ Express, A division of Sage, Washington, D.C
Hasan, Noorhaidi 2007, ‘Islamic militancy, shari’a and democratic consolidation in Post-Suharto Indonesia’,Working Paper S. Rajaratnam School of International Studies, 23 Oktober Singapore.
Hippel, Karin Vol 2009, the role of terrorism in radicalization and terrorism,Center for Strategic and International Studies,
Husaini, Adian 2009, Radikalisme atau Ekstrimisme?, Republika, 8 September.
Keet, C. Maria 2003, ‘Terrorism and Game Theory: Coalitions, negotiations and audience costs’, Department of Government & Society, University of Limerick, Ireland
Keling, Mohamad Faisol dkk 2009,‘The Problems of Terrorism in Southeast Asia’, Journal of Asia Pacific Studies, Vol 1, No 1, 27-48
Kompas 2009, ‘Jaringan Terorisme: Radikalisme yang Kompleks di Kabupaten Temanggung’, Koran Kompas, 24 Agustus,http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/08/24/03192668/radikalisme.yang.kompleks.di.kabupaten.temanggung
Nakhleh, Emile A. 2009, A Necessary Engagement: reinventing america’s relations with the muslim world, princeton university press princeton and Oxford.
Suara Karya 2010, ‘Presiden jadi target Serangan di Istana’, Koran Suara Karya Online, 15 Mei, http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=253144


Baca Selengkapnya!



    Download



    Download



    Download



    Download


      "Pembaca yang terhormat, agar selalu memperoleh informasi terbaru dari kami, silahkan ketik alamat email anda pada kotak dibawah ini, untuk informasi lainya silahkan hubungi:fatur@mail.com".

      David


      "Dear reader, for recived up to date information from Us please submit your email address below, for further information please contact: fatur@mail.com"

      Virgie


        Business, Strategy, Standard Operational Procedure www.EzBook.tk

          Marketing,Advertising,Sales, Accounting, Franchise www.EzJournal.tk

            AusAid, USAID,Sampoerna Foundation, AsiaInvest www.EzScholar.tk

            Application Letter, Phsycotest, Interview, Management Trainee

              Listening, Reading, Writing, Speaking, IELTS Prediction www.EzIELTS.tk

                GMAT Exercise, Score Prediction, MBA,USA,Business, Management www.EzGMAT.tk

                Please Contact Us: ecustomer@mail.com www.AdsbyGoogle.tk

                  TOEFL Online,Score Prediction,Preparation, Exercise www.EzTOEFL.tk




                      geovisite
                      geovisite



                        Free Blog Counter