" Selamat datang di situs pribadiku. Mari dengan semangat keakraban, kecerdasan, kritis tetapi menjunjung tinggi kejujuran dalam berkomunikasi, kita kuak tabir kehidupan nyata yang terjadi dalam kehidupan kita "!

AKAR RADIKALISME DAN TERORISME DI INDONESIA
Fatkhuri, MA, MPP
Pemerhati Politik dan Sosial
11 Oktober 2010

A. Pengantar
Sejak bergulirnya reformasi di Indonesia tahun 1998, radikalisme dan terorisme menjadi ramai diperbincangkan. Reformasi membuka kran demokrasi yang tertutup selama 32 tahun selama rezim orde baru berkuasa. Alhasil, ruang eskpresi yang terbuka lebar mendorong lahirnya banyak organisasi dan gerakan keagamaan. Dalam masa ini, berbagai macam kelompok/organisasi baik politik, ekonomi, agama dan sebagainya menemukan tempat untuk mengekspresikan kepentingannya. Menurut Azra (2003), munculnya kelompok radikal di Indonesia diakibatkan oleh disamping euforia demokrasi, juga karena dicabutnya undang-undang anti-subversi oleh Presiden Habibie yang pada gilirannya memberikan ruang yang lebar bagi kelompok ekstrimis untuk mengekspresikan gagasan dan aktifitas mereka (hal. 50). Sependapat dengan Azra, Abuza (2007) juga mengatakan bahwa jatuhnya rezim otoriter Soeharto memicu lahirnya kekuatan civil society secara masif yang pada gilirannya memberikan ruang kepada kelompok tertentu termasuk di dalamnya kelompok radikal (uncivil) yang mengekspresikan kepentingannya dengan cara menebarkan kebencian dan intoleransi dengan menggunakan cara-cara kekerasan (violence) (hal.67).
Diskursus radikalisme dan terorisme semakin memanas pasca meletusnya peristiwa 11 September 2001 menyusul hancurnya dua gedung kembar Word Trade Center (WTC) dan Gedung Pertahanan Pentagon di Amerika Serikat. Banyak kalangan barat menilai, pelaku bom tersebut dilakukan oleh kelompok islam militan atau ekstrimis Al-Qaida pimpinan Osama Bin Laden. Praktis sejak saat itu banyak negara-negara barat melihat Islam sebagai agama yang identik dengan kekerasan.Stereotype ini diperkuat dengan adanya aksi bom lanjutan yang marak terjadi di hampir semua belahan dunia seperti Indonesia (peristiwa Bom Bali I dan II), negara-negara timur tengah (bom Afganistan dan Pakistan) bahkan di Negara-negara Eropa.


Sebagaimana diuraikan di awal, reformasi melahirkan banyak gerakan keagamaan termasuk kelompok islam militan (islam radikal) yang mengkonsolidasikan diri dan menyerukan diberlakukannya syari’ah islam bahkan Negara Islam (daulah islamiyah) di Indonesia. Beberapa organisasi yang termasuk dalam kelompok ini adalah Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Laskar Jihad (LJ), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Jamaah Islamiyah (JI).
Secara umum, organisasi-organisasi diatas acapkali turun jalan (demonstrasi) untuk menuntut pemerintah memberlakukan syari’at islam dan tidak jarang kelompok islam militan ini melancarkan aksinya dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Salah satu cara yang dipakai kelompok ini adalah melakukan razia ke Kafe, diskotik, kasino dan lain-lain terutama di bulan ramadhan. Fenomena ini pada gilirannya memantik banyak kecaman dari publik sebab keberadaannya tidak hanya meresahkan masyarakat tetapi juga menimbulkan rasa takut publik akan ancaman teror yang sewaktu-waktu bisa terjadi.
Dengan melihat realitas tersebut diatas, pertanyaanya adalah apa saja faktor-faktor yang mendukung terbentuknya radikalisme dan terorisme di Indonesia. Tulisan akan menjelaskan bahwa radikalisme dan terorisme di Indonesia disebabkan karena dua masalah fundamental yakni deprivasi ekonomi (kemiskinan) dan ketidakadilan politik.

B. Radikalisme dan terorisme: Tinjauan Teoritis
Arti Radikalisme dan Terorisme
Sebelum jauh mendiskusikan faktor-faktor penyebab radikalisme dan terorisme, alangkah baiknya lebih dahulu melacak apa sebenarnya arti/makna dari radikalisme dan terorisme itu sendiri. Hal ini penting untuk menghindari kesalahan penafsiran dan misperspesi sehingga memudahkan kita memahami persoalan. Sebagaimana dikatakan oleh Copland (2005) bahwa tidak hanya deskripsi teroris yang mengalami kontradiksi satu sama lain, tetapi juga deskripsi yang sama bisa dipakai untuk banyak orang di dalam komunitas masyarakat yang berpartisipasi dalam aksi teror (hal.43).
Uraian Copland di atas merefleksikan bahwa radikalisme dan terorisme adalah masalah kompleks. Artinya, keduanya bisa mendatangkan ruang perdebatan serta tafsiran yang berbeda-beda sesuai dengan konteks, kepentingan dan kondisi yang menyertainya.
Secara literal, kata radikal berasal dari bahasa latin yang berarti ‘akar’. Sebagaimana dikutip oleh Adian Husaini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), radikal diartikan sebagai “secara menyeluruh”, “habis-habisan”, “amat keras menuntut perubahan”, dan “maju dalam berpikir atau bertindak”, sedangkan “radikalisme”, diartikan sebagai: “paham atau aliran yang radikal dalam politik”, “paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara yang keras atau drastic”, “sikap ekstrim di suatu aliran politik” (Republika 8/9/2009). Melihat definisi diatas, kita bisa menganalisa, aktifitas atau tindakan dalam bentuk seperti apa yang termasuk kategori radikal. Sementara dalam konteks gerakan islam, aktifitas yang tergolong radikal mempunyai beberapa kriteria tersendiri. Berkaitan dengan hal ini, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta (PPIM) (2004) sebagaimana dikutip oleh Husaini menguraikan empat kriteria radikal antara lain sebagai berikut:
1. mempunyai keyakinan ideologis tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung;
2. dalam kegiatannya mereka seringkali menggunakan aksi-aksi yang keras, bahkan tidak menutup kemungkinan kasar terhadap kegiatan kelompok lain yang dinilai bertentangan dengan keyakinan mereka;
3. secara sosio-kultural dan sosio-religius, kelompok radikal mempunyai ikatan kelompok yang kuat dan menampilkan ciri-ciri penampilan diri dan ritual yang khas;
4. Kelompok ‘Islam radikal’ seringkali bergerak secara bergerilya, walaupun banyak juga yang bergerak secara terang-terangan (Republika, 8/9/2009).
Sama halnya dengan radikalisme, terorisme mempunyai arti ancaman dan tindakan dalam rangka membuat orang lain takut. Secara harfiah, kata terorisme berasal dari bahasa latin “terrere” yang berarti ‘bergetar’, dikombinasi dengan akhiran ‘isme’ yang berarti ‘mempraktekan’ (Keling Dkk 2009, hal. 32).
Sedangkan menurut Howard (2001), terorisme adalah salah satu metode yang digunakan dalam peperangan. Dia memberikan tiga kriteria aktifitas yang termasuk kategori tindakan teror sebagai berikut:
1. aktifitas yang berhubungan dengan inisiasi propaganda atau menarik perhatian dunia internasional dengan cara menunjukan kemampuan (show of force);
2. aktifitas yang berhubungan dengan upaya memperlemah musuh;
3. gerakan profokasi dan meyakinkan bahwa musuh bisa diberdaya yang pada gilirannya dapat menarik simpati dunia internasional bahwa tujuan-tujuan mereka telah tercapai (Keling dkk. 2009, hal. 32).
Secara umum, terorisme termasuk tindakan kriminal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dalam rangka membuat kerusakan sehingga tidak jarang mengakibatkan kerusakan fasilitas publik dan jatuh korban. Hal ini sebagaimana diuraikan oleh Henderson (2001)yang merujuk pada definisi yang dibuat oleh Amerika bahwa terorisme adalah aktifitas kriminal yang melibatkan kekuatan(kekerasan) secara sengaja untuk tujuan-tujuan tertentu (Keling dkk 2009, hal. 32).
Berkaitan dengan gerakan Islam radikal/militan, Abuza (2007) membagi empat kategori dalam kelompok ini. Pertama adalah muslim militan (laskar)yang melancarkan aksinya dengan kekerasan (violence), akan tetapi hanya dalam batas tertentu. Mereka ini disebut juga sebagai “reactive jihadists” yang mana kekerasan digunakan untuk merespon situasi atau kejadian tertentu. Kedua adalah kelompok militan “Islamist”, yang mana gerakannya tersporadis, cenderung menggunakan kekerasan, serta pengetahuan dan interpretasi kelompok ini terhadap nilai-nilai islam sangat literal (rudimentary). Ketiga adalah kelompok yang terdiri dari mahasiswa radikal atau kelompok berbasis kampus (university-based organizations). Kelompok ini sangat anti terhadap barat yang mana para pengikutnya cenderung simpatik terhadap penyebab-penyebab yang lebih radikal. Keempat adalah organsiasi salafi murni (pure Salafi organizations) dan organisasi dakwah seperti Hizb ut-Tahrir yang melihat aksi politik dan aksi militer sebagai gangguan dari tujuan purifikasi agama yang menjadi agenda mereka (Abuza 2007, hal. 67).

Akar radikalisme dan terorisme
Studi tentang radikalisme dan terorisme banyak menguraikan bahwa radikalisme dan terorisme disebabkan oleh berbagai macam faktor seperti ekonomi dan politik. Dari sisi ekonomi, hasil riset Djelantik (2006) di Jawa Barat menyebutkan bahwa salah satu faktor pendukung radikalisme dan terorisme adalah karena ketidakpuasan publik (dissatisfaction) terhadap kebijakan pemerintah yang tidak adil terhadap rakyat kecil. Selaras dengan padangan Djelantik, Gottlieb (2009) juga menguraikan bahwa dalam teori ilmu ekonomi liberal, setiap individu mempunyai motivasi untuk hidup berkecukupan secara materi (material well-being). Dalam kaitan ini, mereka yang mempunyai kecukupan materi akan menerima sebuah sistem dimana mereka tinggal dan beraktifitas secara damai, sebaliknya mereka yang secara sosio-ekonomi mengalami kesengsaraan (distress) dan kekurangan (deprivation) mempunyai kecendrungan untuk berbuat radikal dan besar kemungkinan menggunakan cara kekerasan (violent movement) termasuk gerakan teroris (terrorist movement).
Uraian diatas merefleksikan bahwa kemiskinan akan memudahkan kelompok tertentu untuk memperdaya mereka yang miskin untuk tujuan-tujuan politis, idiologis, dan sebagainya. Sebagaimana Hippel (2009) juga mengemukakan bahwa kemiskinan akan memungkinkan seseorang mudah berbuat radikal dan melakukan aksi teror sebab mereka tertarik untuk mendapat bantuan jasa (charity) dari pihak lain. Hipel (2009) memberikan contoh bahwa beberapa kelompok islam dan partai politik, termasuk gerakan Al-Qaeda dapat melebarkan pengaruhnya hanya dengan memberikan bantuan jasa terhadap masyarakat miskin. Menurut Hipel, kelompok teroris telah meluaskannya pengaruhnya dan mendapatkan pengikut banyak karena bantuan (charity) yang mereka berikan (2009, hal.53). Hipel menunjukan fakta bahwa beberapa gerakan teroris di Pakistan dan Afghanistan mengembangkan gerakannya dengan cara memberikan bantuan langsung kepada masyarakat miskin dan terbukti beberapa orang yang melakukan bom bunuh diri berasal dari keluarga tidak mampu.
Dalam konteks politik, radikalisme dan terorisme bisa disebabkan oleh perlakuan diskriminatif penguasa terhadap kelompok tertentu. Diskriminasi tersebut bisa berupa tidak diakomodasinya aspirasi atau keinginan kelompok tersebut sehingga mengakibatkan tindakan frontal dan anarkis. Contohnya adalah aksi anarkisme yang dilakukan oleh kelompok islam militan yang bertujuan untuk mengganti sistem sekuler (demokrasi) dengan syari’ah islam (daulah islamiyah). Kelompok ini beranggapan bahwa demokrasi adalah sistem politik barat yang harus ditolak karena tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam. Dalam kaitan ini, mengutip Crenshaw (1981), Keet menguraikan bahwa terorisme lahir karena sebuah kegagalan perjuangan politik dalam jangka waktu yang lama. Pada awalnya mereka mengikuti garis politik yang telah ada, namun karena berkali-kali gagal akhirnya membentuk faksi politik sendiri dan melakukan aksi terorisme ( 2003, hal.24). Dalam risetnya, Keet (2003) juga mengatakan bahwa untuk menghindarkan potensi kekerasan atau tindakan teror, pemimpin dalam sebuah Negara demokrasi harus mempunyai kemampuan merespon kemauan kelompok radikal yang pada gilirannya mengurangi informasi yang tidak simetris sehingga potensi konflik bisa diminimalisir (hal.60).
Disisi lain, sebagaimana dikutip oleh Copland (2005), Feliks Gross juga mengklaim bahwa terorisme lahir karena kondisi tertentu seperti sosial dan politik, keberadaan organisasi yang tidak sepakat dengan kondisi yang ada, dan adanya individu yang ingin berpartisipasi. Jika salah satu kondisi ini tidak terpenuhi maka kemungkinan prilaku teroris tidak akan ada (hal.2). Dari penjelasan ini jelas bahwa semua elemen saling melengkapi terjadinya aksi terorisme. Dengan demikian, hasil interaksi semua komponen tersebut pada akhirnya menciptakan sebuah aktifitas radikal atau ekstrim. Kondisi ini menegaskan argumentasi Copland (2005) bahwa radikalisme dan terorisme lahir sebagai sebuah hubungan/interaksi (interplay) antara faktor sosio-kultur masyarakat, karakteristik individu, dan berbagai dinamika dari organisasi teroris (hal.43).

C. Radikalisme dan Terorisme di Indonesia
Selama ini umum dipahami bahwa akar masalah radikalisme dan terorisme adalah persoalan agama (perbedaan idiologi) yakni Islam versus barat (non Islam). Perpsektif ini tidak salah sebab secara umum kelompok islam radikal menginginkan islam sebagai prinsip hidup yang harus diadopsi dalam sistem ketatanegaraan. Namun demikian, apakah agama (islam) betul-betul menjadi sebab kemunculan radikalisme bahkan terorisme? Tentu saja kita tidak bisa terburu-buru memberikan jawaban bahwa agama menjadi faktor determinan dalam masalah ini. Dalam kaitan ini, kita perlu mempertimbangkan akar masalah radikalisme dan terorisme dengan menggunakan perspektif lain.
Melacak akar radikalisme dan terorisme sebetulnya sangat kompleks. Artinya radikalisme dan terorisme tidak hanya disebabkan oleh faktor tunggal sebagaimana disebutkan diatas. Aspek politik, sosial dan ekonomi juga merupakan bagian integral dan fundamental yang bisa menjadi sebab kemunculan radikalisme dan terorisme.
Penting dicatat bahwa radikalisme dan terorisme bukan fenomena baru di Indonesia. Dalam sejarahnya, radikalisme dan terorisme disebabkan oleh adanya keinginan sekelompok umat islam yang menginginkan permunian ajaran agama pada masa pra-kemerdekaan. Dalam konteks ini, sebagian umat islam dianggap tidak lagi berjalan sebagaimana ajaran yang dianjurkan oleh Rasulullah dan tuntunan dalam Al-Qur’an. Dus, faktor internal menjadi pemicu keberadaan radikalisme daripada ancaman dari luar sebagaimana yang terjadi saat ini. Faktor internal yang terjadi pada sebelum periode modernisasi menurut Azyumardi Azra (2003) termasuk ditandai dengan respon umat islam terhadap kemunduran entitas politik islam dan konflik yang berkelanjutan antar sesama umat islam (hal. 47). Menurut Azra, banyak umat islam percaya bahwa kondisi memprihatinkan yang dihadapi umat islam pada saat pra-kolonial disebabkan karena degradasi moral dan sosial umat islam sebagai dampak dari menganut kepercayaan dan praktek agama yang salah sehingga radikalisme muncul karena kebanyakan muslim meninggalkan atau tidak lagi merujuk pada keaslian dan kebenaran ajaran agama hal.47). Alhasil, beberapa kelompok umat islam merasa perlu untuk meluruskan umat islam yang telah tersesat tidak hanya dengan cara dakwah bil-lisan (ucapan) akan tetapi juga dengan kekerasan (jihad).
Fakta ini juga menunjukan bahwa kemunculan radikalisme dan terorisme pada masa sebelum kemerdekaan lebih banyak dipengaruhi oleh faktor idiologi (agama). Contoh dari Gerakan ini termasuk kelompok Padri di Minangkabau Sumatera Barat. Gerakan Padri lahir dengan agenda untuk menyebarkan ajaran wahabi di Indonesia. Gerakan ini muncul sejak abad 16 Masehi sampai awal abad 18. Menurut Azumardy Azra, Gerakan Padri merupakan organisasi yang bertujuan untuk mengembalikan kemurnian ajaran Islam sebagaimana diajarkan Rasulullah SAW dan sahabat-sahabatnya (2003, hal. 47). Namun demikian, pada perkembangannya gerakan Padri tidak mendapatkan sambutan yang menggembirakan dari masyarakat, sehingga gerakan ini kemudian mati.
Pada konteks saat ini, radikalisme dan terorisme memiliki corak yang sedikit berbeda dengan pada saat sebelum kemerdekaan sebagaimana Gerakan Padri. Radikalisme dan terorisme lahir karena berbagai macam sebab atau tidak hanya karena persoalan agama. Berikut ini adalah dua faktor pendukung terhadap kemunculan radikalisme dan terorisme di Indonesia yakni deprivasi ekonomi dan ketidakadilan politik.


Deprivasi Ekonomi
Berkaitan dengan masalah ekonomi, ada dua alasan mendasar mengapa ketidakadilan ekonomi menjadi faktor pendukung lahirnya radikalisme dan terorisme.
Pertama, radikalisme dan terorisme lahir sebagai akibat dari rasa frustasi beberapa kelompok orang miskin yang tidak bisa survive dalam kehidupannya. Kelompok yang mengalami under-pressure dan frustasi berkepanjangan rentan terhadap dua hal; 1) berbuat radikal (kekerasan); 2) mudah dipengaruhi pihak luar (kelompok tertentu) untuk berbagai macam kepentingan. Alhasil, kondisi ini akan sangat memudahkan para pimpinan teroris (jihadis) untuk melakukan indoktrinasi dengan ajaran yang menyesatkan terhadap kelompok miskin.
Gangguan psikologi (frustasi) pada seseorang mengakibatkan mereka akan menerima apapun ajaran tanpa reserve, terlebih ajaran tersebut menggunakan justifikasi agama. Argumentasi ini bisa ditelisik dari fakta bahwa para aktor pengeboman yang selama ini terjadi di berbagai daerah di Indonesia seperti Imam Samudera dari Banten dan Amrozi dari Lamongan Jawa Timur adalah orang-orang dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah. Disisi lain pelaku bom di depan Kedutaan Besar Australia di Kuningan yakni Ahmad Hasan yang merupakan karyawan PT Pertani Blitar dan Agus Ahmad seorang karyawan PT Sajira di Jakarta juga berasal dari latar belakang ekonomi lemah (CMMI 2006).
Sama halnya dengan pelaku bom di beberapa tempat sebagaimana disebutkan di atas, penangkapan beberapa anggota teroris di Kabupaten Temanggung tahun 2009 juga menjadi bukti bahwa kemiskinan melahirkan rasa frustasi yang berujung pada aksi radikal.Sebagaimana diketahui bersama, para aktor yang terlibat aksi teroris di Temanggung umumnya adalah kelompok pemuda yang frustasi karena kehidupan di desanya tidak menjanjikan. Fakta menunjukan bahwa sejak akhir tahun 1990 dan awal 2000, masyarakat pedesaan di Temanggung mengalami goncangan ekonomi seiring jatuhnya harga komoditas tembakau yang semula menjadi penyangga kesejahteraan warga setempat. Jatuhnya harga tembakau tersebut membuat sebagian warga desa tidak lagi dapat menikmati kesejahteraan sebagaimana yang mereka rasakan sebelumnya. Pada perjalannya, generasi muda pun memilih pergi ke luar daerah untuk mendapatkan penghidupan dan masa depan lebih baik. Namun demikian, fakta tidak seindah mimpi yang mana tidak semua dari mereka mendulang kesukesan. Alhasil, banyak anak muda yang pergi ke luar kota untuk merantau kemudian terjerumus dalam keputusasaan yang berujung pada aksi radikal (Kompas, 24 Agustus 2009).

Kedua, kebijakan pemerintah dalam bidang-bidang tertentu terutama ekonomi yang memarginalkan masyarakat bawah juga mengakibatkan ketidakpuasan publik yang pada gilirannya melahirkan tindakan radikal pada diri seseorang. Meskipun tidak dipengaruhi pihak luar untuk kepentingan tertentu (misalnya: agama) sebagaimana disebutkan dalam poin pertama, marginalisasi dan diskriminasi pada akhirnya menyulut ketidakpuasan publik terutama kelompok miskin sehingga membuat kelompok tersebut mudah melakukan aksi kekerasan.
Fakta ini juga menkonfirmasi hasil riset Djelantik (2006) di Jawa Barat dimana dalam sejarahnya banyak kelompok teroris dan radikal berasal dari daerah ini. Dia menyebutkan bahwa radikalisme dan terorisme disebabkan oleh adanya keterbatasan akses terhadap sumber-sumber ekonomi yang diakibatkan oleh kebijakan pemerintah yang diskriminatif. Dia juga menambahkan bahwa disparitas ekonomi yang sangat tinggi antara si kaya dan si miskin adalah realitas nyata di daerah tersebut. Fakta menunjukan bahwa radikalisme tumbuh subur karena kebijakan ekonomi pemerintah hanya terpusat pada pengembangan infrastruktur dan pada saat yang sama mengabaikan pengembangan sumber daya manusia dan aspek sosial budaya sehingga masyarakat pedesaan termarginalisasi di dalam sistem ekonomi (2006, hal.8). Kondisi inilah yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpuasan masyarakat sehingga memicu aksi radikal (kekerasan).

Ketidakadilan Politik
Tidak bisa dipungkiri, politik merupakan salah satu faktor pendukung kemunculan radikalisme dan terorisme di Indonesia. Ada dua alasan mendasar mengapa politik menjadi akar masalah radikalisme dan terorisme.
Pertama, secara umum kelompok radikal yang didalamnya termasuk Front Pembela Islam (FPI), Majlis Mujahidin Indonesia (MMI) untuk menyebut beberapa nama beranggapan bahwa sistem politk (demokrasi) di Indonesia dianggap tidak selaras/kompatibel dengan Islam. Menurut kelompok ini, Indonesia sebagai Negara muslim terbesar di dunia harus memberlakukan Islam sebagai idiologi Negara. Mereka beranggapan bahwa sistem demokrasi adalah produk barat dan harus ditolak habis-habisan. Demokrasi juga dianggap tidak bisa menyelesaikan persoalan kebangsaan. Contoh, fenomena korupsi yang begitu akut, angka kemiskinan yang tidak kunjung turun dan merajalelanya pornografi dan semacamnya adalah salah satu bukti bahwa demokrasi dinilai tidak bisa memberikan solusi atas berbagai macam persoalan. Kelompok radikal menganggap bahwa Islam adalah satu-satunya sistem politik yang bisa membawa kemashalahatan bagi umat manusia. Alhasil, realitas inilah yang pada gilirannya menimbulkan gejolak politik yang mana beberapa kelompok ekstrimis kemudian melakukan aksinya demi tujuan mengganti sistem yang ada. Fenomena ini relevan dengan argumentasi Nakhleh (2009) bahwa radikalisme bahkan terorisme lahir ketika orang atau kelompok tertentu tidak lagi mempercayai efektifitas perubahan yang terjadi, dan menganggap bahwa kekerasan sebagai sebuah cara legitimate untuk tujuan politik, idiologi, dan aksi keagamaan.
Merujuk pengalaman radikalisme selama ini, salah satu upaya legal (tanpa kekerasan) yang telah dilakukan oleh kelompok militan adalah dengan mendukung pemberlakuan syariat islam (peraturan daerah/Perda) di beberapa pemerintahan daerah di Indonesia. Mereka mengklaim bahwa syariat Islam adalah solusi alternatif untuk menyelesaiakan permasalahan bangsa. Sebagaimana dikatakan oleh Ismail Yusanto sebagai Juru bicara Hizbu Tahrir Indonesia (HTI), sistem sekuler yang diterapkan di Indonesia telah memarginalkan peran agama hanya untuk urusan privat (Hasan 2007, hal 5). Yusanto juga menambahkan bahwa syariat Islam (perda Syariah) dipercaya bisa meminimalisir ketergantungan Indonesia terhadap Negara-negara barat yang terbukti tidak bisa menyelesaikan krisis ekonomi dan politik, dan perda syariah dinilai relevan untuk bisa menyelesaikan permasalah bangsa melewati batas-batas ras, budaya maupun agama (Hasan 2007).
Sejalan dengan argumen di atas, hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta tahun 2001, 2002 dan 2004 juga menguraikan bahwa ketertarikan umat islam terhadap pelaksanaan peraturan daerah (perda syariah) mengalami peningkatan. Jumlah mereka yang setuju dengan perda syariah meningkat dari 61.4 persen di tahun 2001 ke 70.6 persen pada tahun 2002, dan 75.5 persen di tahun 2004.Sementara mereka yang setuju dengan pelaksanaan hukum potong tangan bagi pelaku pencurian juga meningkat meskipun jauh lebih sedikit yakni 28.9 persen (2001), 33.5 persen (2002) dan 39.9 persen (2004) (Anwar 2009, hal.58).
Berbeda dengan kondisi diatas, organisasi Islam militan yang kerap mendapat sorotan tajam publik karena berada di belakang aksi kekerasan (teror bom) di Indonesia selama ini adalah Jamaah Islamiyah (JI). Jamaah Islamiyah adalah organiasi yang masih berkaitan erat dengan Darul Islam (DI). DI merupakan sebuah organisasi yang bercita-cita mendirikan Negara Islam pada awal-awal kemerdekaan Indonesia.
Dalam sejarahnya, berdirinya Darul Islam (DI) juga tidak bisa dilepaskan dari masalah politik kekuasaan. Meskipun menggunakan jargon/simbol agama, perjuangan yang diusung oleh DI pada dasarnya adalah perjuangan politik sebab tujuan utama dari gerakan ini adalah mendirikan Negara Islam Indonesia.
Sama halnya dengan DI, JI menganggap bahwa kekerasan dinilai sebagai cara yang efektif untuk mengganti idiologi pancasila (demokrasi) dengan sistem politik Islam. Sebagaimana dikutip dari Bubalo dan Fealy (2005), Copland menguraikan bahwa JI mempunyai pandangan bahwa untuk mengikuti garis Islam Salafi, hanya perang dan terorisme yang bisa dilakukan untuk menegakan Negara Islam sebagaimana terjadi pada masa kaum salafi (2005, hal. 6).
Terkait dengan tujuan gerakan tersebut, dalam perkembangannya, nuansa politik semakin mengental manakala aksi terorisme saat ini tidak hanya dalam rangka mengusir penduduk asing atau merusak tempat-tempat yang dianggap representasi kekuatan asing seperti kantor kedutaan, Tempat Hiburan dan sebagainya. Akan tetapi beberapa umat islam sendiri juga menjadi target serangan kaum teroris. Fakta menunjukan bahwa belum lama ini Mabes Polri mengungkapkan bahwa kelompok teroris telah menyiapkan rencana serangan dan pembunuhan terhadap presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)dan para pejabat negara pada saat upacara peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus 2010 mendatang. Mereka disinyalir akan menyerang bahkan membunuh semua pejabat yang hadir pada upacara 17 Agustus 2010 termasuk para tamu negara yang hadir (Suara Karya, 15 Mei 2010).Penyerangan itu dinilai sebagai bagian dari upaya kelompok teroris untuk mendeklarasikan negara islam di Indonesia.
Fakta di atas menunjukan bahwa disamping aksi terorisme semakin tidak terarah/tersporadis, juga mengafirmasi argumentasi Nakhleh bahwa aksi radikalisme yang berujung kekerasan juga bertujuan untuk melawan rezim Islam yang dianggap tidak islami (tidak mencerminkan nilai-nilai Islam) (2009).Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa agama secara jelas hanya dijadikan justifikasi dalam rangka mewujudukan tujuan politik para esktrimis.

Kedua, radikalisme dan terorisme tumbuh sebagai bentuk protes atas ketidakadilan Negara-negara barat terutama Amerika Serikat atas kebijakan standar ganda yang selama ini diberlakukan di Negara-negara timur tengah. Invasi AS ke Irak, kenyataan okupasi Israel terhadap Palestina yang dibiarkan merupakan fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa Amerika dinilai bertindak tidak adil terhadap Negara-negara muslim. Dari sinilah rasa nasionalisme keislaman para jihadis tumbuh. Mereka merasa bahwa ketidakadilan yang dialami masyarakat muslim di timur tengah merupakan tanggung jawab bersama umat islam di Dunia. Kekerasan yang mereka pertontonkan merupakan bentuk perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni asing (AS).

D. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa ketidakadilan ekonomi dan politik menjadi faktor paling menentukan bagi lahirnya gerakan radikalisme dan terorisme di Indoneisa. Meskipun Islam kerapkali dijadikan dasar argumentasi aksi kelompok radikal, namun nuansa ekonomi dan politik tampak jelas menjadi faktor penyebab kemunculannya.
Dalam konteks ekonomi, studi ini menjelaskan bahwa kemiskinan mendorong orang berbuat radikal karena rasa frustasi berkepanjangan. Terbukti beberapa kelompok yang terlibat dalam aksi terorisme selama ini adalah mereka yang mengalami depresi berkepanjangan setelah sekian lama hidup dalam ketidakberdayaan. Disisi lain kesenjangan ekonomi masyarakat yang diakibatkan oleh kebijakan diskriminatif pemerintah juga berkontribusi terhadap tindakan radikal.
Dalam konteks politik, penonalakan terhadap sistem politik sekuler memicu kelompok radikal berupaya untuk mengganti sistem politik tersebut dengan syariah islam. Sebagaimana diketahui bersama, Indonesia dengan mayoritas penduduk muslim di dunia bukanlah Negara Islam. Namun demikian, beberapa kelompok islam militan menginginkan agar Islam menjadi dasar negara. Motif inilah yang pada akhirnya mendorong beberapa kelompok islam garis keras berusaha melakukan perlawanan dalam rangka mendorong pemerintah untuk menerapkan Islam sebagai dasar Negara. Dorongan tersebut semakin meningkat manakala demokrasi dinilai tidak bisa memecahkan persoalan. Fenomena kemiskinan yang tetap merajalela, moral masyarakat semakin tidak tertata dan sebagaianya merupakan fakta yang tidak bisa dihindarkan yang memicu kritik tajam dari kelompok radikal. Kritik yang dilancarkan dalam taraf tertentu menggunakan aksi kekerasan. Kedua, radikalisme dan terorisme tumbuh subur dikarenakan oleh ketidakadilan politik global. Kebijakan (standar ganda) luar negeri AS terhadap Negara-negara Islam (timur tengah) menimbulkan reaksi keras terhadap kelompok Islam Indonesia. Reaksi tersebut salah satunya diimplementasikan dalam bentuk kekerasan sebagai simbol perlawanan.


REFERENSI
Abuza, Zachary 2007,Political Islam and violence in Indonesia, Routledge, London and New York
Anwar, Etin 2009, ‘the Dialectics of Islamophobia and
Radicalism in Indonesia’, Research of notes, ASIANetwork Exchange, Vol. XVI, No. 2, Spring, Hobart and William Smith Colleges
Azra, Azyumardi 2003, ‘Bali and Southeast Asian Islam: Debunking the Myths’, di Kumar Ramakrishna dan See Seng Tan (Editor), After Bali: the Threat of terrorism, Institute of Defence and Strategic Studies, Nanyang Technological University, Singapore

Coplan, Sarah 2005, Psicological Profilling of Terrorists: A Case study of Bali bombers and Jamaah Islamiyah, Australian National Internships program, Australia
Center for Moderate Muslim Indonesia (CMMI)2006,’ Ketidakadilan dan Kemiskinan Picu Radikalisme’, CMMI, 26 Maret,
Djelantik, Sukawarsini 2006, ‘Terrorism in Indonesia: the emergence of West Javanese terrorists,International Graduate Student Conference series, East-West centre working paper, No.22
Gottlieb, Stuart 2009, Debating terrorism and counterterrorism:conflicting perspectives on causes, contexts and responses, CQ Express, A division of Sage, Washington, D.C
Hasan, Noorhaidi 2007, ‘Islamic militancy, shari’a and democratic consolidation in Post-Suharto Indonesia’,Working Paper S. Rajaratnam School of International Studies, 23 Oktober Singapore.
Hippel, Karin Vol 2009, the role of terrorism in radicalization and terrorism,Center for Strategic and International Studies,
Husaini, Adian 2009, Radikalisme atau Ekstrimisme?, Republika, 8 September.
Keet, C. Maria 2003, ‘Terrorism and Game Theory: Coalitions, negotiations and audience costs’, Department of Government & Society, University of Limerick, Ireland
Keling, Mohamad Faisol dkk 2009,‘The Problems of Terrorism in Southeast Asia’, Journal of Asia Pacific Studies, Vol 1, No 1, 27-48
Kompas 2009, ‘Jaringan Terorisme: Radikalisme yang Kompleks di Kabupaten Temanggung’, Koran Kompas, 24 Agustus,http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/08/24/03192668/radikalisme.yang.kompleks.di.kabupaten.temanggung
Nakhleh, Emile A. 2009, A Necessary Engagement: reinventing america’s relations with the muslim world, princeton university press princeton and Oxford.
Suara Karya 2010, ‘Presiden jadi target Serangan di Istana’, Koran Suara Karya Online, 15 Mei, http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=253144


Post a Comment



    Download



    Download



    Download



    Download


      "Pembaca yang terhormat, agar selalu memperoleh informasi terbaru dari kami, silahkan ketik alamat email anda pada kotak dibawah ini, untuk informasi lainya silahkan hubungi:fatur@mail.com".

      David


      "Dear reader, for recived up to date information from Us please submit your email address below, for further information please contact: fatur@mail.com"

      Virgie


        Business, Strategy, Standard Operational Procedure www.EzBook.tk

          Marketing,Advertising,Sales, Accounting, Franchise www.EzJournal.tk

            AusAid, USAID,Sampoerna Foundation, AsiaInvest www.EzScholar.tk

            Application Letter, Phsycotest, Interview, Management Trainee

              Listening, Reading, Writing, Speaking, IELTS Prediction www.EzIELTS.tk

                GMAT Exercise, Score Prediction, MBA,USA,Business, Management www.EzGMAT.tk

                Please Contact Us: ecustomer@mail.com www.AdsbyGoogle.tk

                  TOEFL Online,Score Prediction,Preparation, Exercise www.EzTOEFL.tk




                      geovisite
                      geovisite



                        Free Blog Counter