" Selamat datang di situs pribadiku. Mari dengan semangat keakraban, kecerdasan, kritis tetapi menjunjung tinggi kejujuran dalam berkomunikasi, kita kuak tabir kehidupan nyata yang terjadi dalam kehidupan kita "!

Dimuat Detik.Com
Selasa, 04/05/2010 18:21 WIB
Budaya Korupsi: Problem Hedonis dan Permisif

Oleh: Fatkhuri, S.IP, MA, MPP
(Pemerhati Politik)



Jakarta - Montinola dan Jackman (2002) dalam karyanya yang berjudul Sources of Corruption: A cross-country study, mengatakan bahwa budaya korupsi merupakan norma-norma sosial yang menekankan pada pemberian hadiah (berupa suap), dan semangat kepatuhan terhadap keluarga dan kroni-kroninya. Atau mereka menyebutnya dengan sebutan clan daripada terhadap aturan atau undang-undang. Norma-norma dan tingkah laku koruptif sebagaimana dikatakan oleh Banfield (1958), dan Wraith dan Simkins (1963) bisa menyebabkan ekonomi collapse (berbahaya), dan dari sudut pandang politik merupakan tindakan yang bukan hanya tidak etis akan tetapi juga tidak bermoral.

Maraknya kasus korupsi di Indonesia yang menimpa para pejabat publik baik pada level eksekutif, legislatif, maupun yudikatif menunjukkan bahwa budaya korupsi telah mengakar begitu kuat. Akar masalah korupsi saat ini disinyalir bukan lagi pada masalah sistem. Akan tetapi pada masalah mental/ moral masyarakat yang mempersepsi korupsi merupakan masalah wajar (lumrah).



Rusaknya mental masyarakat ini pada gilirannya berkontribusi terhadap sikap pejabat yang menjadikan kejahatan korupsi sebagai alternatif untuk memperkaya diri. Tak pelak pelaku korupsi tidak pernah jera dengan sanksi yang diberikan. Ketidakjeraan koruptor terhadap sanksi ini dalam derajat tertentu membuat publik geram yang kemudian berujung pada wacana untuk menghukum koruptor dengan hukuman mati dan atau memiskinkan mereka dengan menyita hartanya.

Budaya Korupsi: Refleksi Sikap Hedonis dan Permisif?
Jamak diketahui upaya pemerintah dalam rangka menangkal penyakit korupsi sudah sedemikian keras. Selama ini pemerintah sudah membuat regulasi yang sangat ketat serta memperkenalkan lembaga yang mempunyai kewenangan mencegah dan memberi sanksi terhadap kasus korupsi.

Bahkan, meskipun belakangan tidak efektif, dalam UU Nomor 31 tahun 1999 yang kemudian diperbaharui menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga mengatur hukuman mati bagi pelaku korupsi. Terutama dalam kondisi di mana negara dalam keadaan krisis dan terkena bencana alam.

Melihat realitas tersebut kita tentu patut mengapresiasi usaha yang sudah dilakukan
pemerintah seperti berdirinya lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang secara umum sangat efektif untuk menjerat koruptor yang sebelumnya bisa dengan bebas berkeliaran di mana pun tempat. Bisa dibayangkan di tangan lembaga ini koruptor kelas kakap banyak ditangkap dan masuk jeruji penjara.

Namun demikian lagi-lagi yang menjadi masalah saat ini adalah kita diperhadapkan pada sulitnya mengobati penyakit mental koruptif masyarakat sehingga banyaknya prosentase pejabat yang dipenjara tidak membuat yang lain jera. Hal ini sejalan dengan kondisi sebagaimana dikatakan oleh Mahfud MD (Ketua Mahkamah Konstitusi) bahwa sistem pemberantasan korupsi di Indonesia sebenarnya sudah bagus. Namun, mentalitas dan moralitas masyarakat Indonesia telah rusak. Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sistem yang baik tanpa diikuti dengan moral baik masyarakat (good behavior) menjadikan regulasi pada akhirnya tidak efektif.

Saat ini hampir dipastikan tidak ada lembaga yang bebas dari korupsi. Dari tiga
klasifikasi lembaga pemerintahan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) semua tidak
pernah sepi dari isu kejahatan korupsi. Contoh sederhananya adalah sebagaimana dilaporkan dari hasil survei Transparency International (TI) tahun 2004. Data tersebut menunjukan bahwa partai politik dan parlemen merupakan lembaga terkorup pertama. Belum lagi kondisi lembaga peradilan Indonesia yang marak dengan Makelar Kasus (Markus).

Pada saat Soeharto memerintah selama 32 tahun korupsi berjamaah lazim dilakukan. Namun demikian corak korupsi sedikit berbeda dengan apa yang ditonjolkan pada masa sekarang. Pada saat itu korupsi lebih pada persoalan sistem yang amburadul serta mekanisme kontrol masyarakat yang sangat lemah sebagai akibat sistem represif Orde Daru. Ditambah undang-undang yang ada juga tidak mengaturnya secara ketat dalam rangka mencegah dan menindak pelaku korupsi. Praktis sistem yang korup menjadi stereotip masa pemerintahan Soeharto.

Terkait budaya korupsi paling tidak ada dua alasan mengapa korupsi begitu mengakar dan sulit untuk dihentikan. Pertama, budaya korupsi muncul lantaran kebanyakan pejabat mempunyai orientasi hidup mewah. Cara pandang ini pada giliranya membuat pejabat sebisa mungkin mendapatkan kekayaan dalam waktu cepat dan mudah.

Terungkapnya kasus korupsi yang menimpa Gayus HP Tambunan (mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak) merupakan satu dari sekian banyak contoh ketika pejabat publik lebih menyukai jalan pintas untuk mendapatkan kekayaan secara instan. Fenomena ini menunjukan bahwa mata hati koruptor sudah dibutakan dengan orientasi hidup mewah.

Mereka tidak sampai pada pemahaman bahwa sebetulnya tindakan yang mereka lakukan bisa mengakibatkan kemiskinan dan pengangguran banyak orang. Sebab, negara mengalami kerugian dalam jumlah yang cukup besar. Bisa dibayangkan. Gayus yang konon hanya sebagai pegawai negeri sipil golongan IIIA pernah mengeluarkan belanja rutin untuk keluarganya hingga mencapai Rp 3.6 miliar.

Kondisi ini juga merefleksikan bahwa karena nafsu keserakahan --sebaik apa pun sistem yang dibuat, koruptor tidak pernah mengalami efek jera untuk melakukan korupsi. Korupsi dalam model seperti ini sebagaimana yang diuraikan oleh Montinola dan Jackman di awal tulisan ini yakni mendorong orang untuk lebih patuh pada nafsu keserakahan pribadi dan keluarga daripada mentaati rambu-rambu (regulasi) yang telah disepakati.

Korupsi seolah menjadi gaya hidup untuk mempermulus jalan hidup sejahtera yang pada gilirannya lebih banyak menampilkan model konsumerisme dan hedonisme. Gaya hidup glamour ini yang kemudian menjadi salah satu faktor pendorong (push factor) orang untuk melakukan korupsi.

Kedua, masyarakat cenderung permisif terhadap tindakan korupsi. Masyarakat sudah terlalu familiar dengan tindakan korupsi pejabat sehingga mereka terkesan cuek bebek dan menganggap wajar terhadap bentuk kejahatan semacam ini. Persepsi masyarakat akan tindakan korupsi yang dianggap lumrah ini kemudian semakin memperlebar ruang gerak koruptor melakukan aksinya.

Hal ini sangat beralasan sebab kontrol masyarakat semakin hilang. Sering kali kita mendengarkan ungkapan bahwa mereka yang tertangkap basah melakukan tindak pidana korupsi karena sedang sial. Kesialan para koruptor ini jelas menunjukan bahwa korupsi sudah sedemikian akut menggurita hampir di seluruh jajaran pemerintahan.

Yang lebih penting dari itu sikap permisif masyarakat terhadap kejahatan korupsi ini menunjukkan bahwa korupsi seolah identik dengan pekerjaan biasa. Bukan sebaliknya. Menjadi aksi kejahatan yang membutuhkan strategi jitu untuk membasminya.

Penting dicatat bahwa sikap permisif ini tidak hanya menjadi fenomena di negara berkembang bahkan negara miskin. Di negara-negara yang kondisi ekonomi dan politiknya telah mapan sikap permisif publik terhadap tindakan korupsi juga menjadi masalah yang sulit dipecahkan.

Contoh, Moreno menyebutkan bahwa setelah mengalami penurunan grafik dari 1.26 ke 1.14 antara tahun 1990 dan 1995, publik di Negara Amerika mengalami peningkatan sikap permisif terhadap korupsi hingga mencapai level 1.39 pada tahun 2000 dari 5 poin CPI (Corruption permissiveness index). Di sisi lain, Moreno menyebutkan bahwa Jerman barat juga mengalami hal yang sama di mana Indek Permissiveness terhadap korupsi juga meningkat dari 1.41 ke 1.61 antara tahun 1990 dan 1995.

Dari sini jelas bahwa korupsi tidak semata-mata masalah pembenahan sistem. Melainkan problem mental masyarakat sehingga membutuhkan mekanisme komprehensif untuk menanganinya.

Pentingnya Penanaman Nilai
Langkah Kementerian Keuangan dengan memberlakukan kebijakan kenaikan renumerasi bagi pegawainya sebetulnya merupakan kebijakan bagus. Kebijakan ini dinilai bisa mencegah orang berbuat korupsi. Namun demikian terkuaknya kasus Gayus Tambunan di samping menurunkan kredibilitas dan legitimasi lembaga ini juga bisa menjadi bukti bahwa renumerasi tidak selalu berbanding lurus dengan penurunan kasus korupsi.

Kalau ada ungkapan bahwa Gayus sedang sial logikanya masih banyak Gayus-Gayus lain yang masih malang melintang dalam dunia makelar kasus. Dari sini dapat ditarik benang merah bahwa renumerasi tanpa diimbangi dengan proses penanaman nilai terbukti belum membawa hasil yang cukup signifikan.

Penanaman nilai seperti menumbuhkan budaya malu, mengkampanyekan hidup sederhana dan mensosialiasikan bahayanya melakukan korupsi bisa menjadi salah satu solusi alternatif dalam rangka mencegah korupsi. Diakui atau tidak, tradisi ketimuran masyarakat Indonesia tengah mengalami degradasi.

Budaya malu misalnya karena tidak ingin dianggap jelek oleh pihak lain hampir mengikis. Sebagian masyarakat Indonesia sudah sedemikian cuek dengan apa yang mereka kerjakan. Meskipun mempunyai implikasi negatif. Sikap malu dianggap buruk pihak lain misalnya dengan diwujudkan berani menolak terhadap korupsi seakan menjadi sesuatu yang susah dilakukan.

Di sisi lain memberikan pemahaman bahwa korupsi adalah sama nilainya dengan kejahatan lain. Seperti misalnya terorisme harus senantiasa disosialisasikan. Selama ini pendekatan yang dilakukan hanya pada sebatas pemberian sanksi. Namun, aspek menanamkan pemahaman kepada masyarakat akan bahayanya tindakan korupsi belum maksimal dilakukan.

Dalam jangka panjang penanaman pemahaman terhadap nila-nilai tersebut di atas di samping bisa meminimalisir potensi korupsi bagi pejabat publik juga bisa meningkatkan kontrol masyarakat terhadap aksi korupsi. Kondisi ini sangat beralasan sebab kesadaran masyarakat kemudian tumbuh dengan baik. Dengan demikian diharapkan sikap permisif masyarakat terhadap korupsi semakin hilang.


Post a Comment



    Download



    Download



    Download



    Download


      "Pembaca yang terhormat, agar selalu memperoleh informasi terbaru dari kami, silahkan ketik alamat email anda pada kotak dibawah ini, untuk informasi lainya silahkan hubungi:fatur@mail.com".

      David


      "Dear reader, for recived up to date information from Us please submit your email address below, for further information please contact: fatur@mail.com"

      Virgie


        Business, Strategy, Standard Operational Procedure www.EzBook.tk

          Marketing,Advertising,Sales, Accounting, Franchise www.EzJournal.tk

            AusAid, USAID,Sampoerna Foundation, AsiaInvest www.EzScholar.tk

            Application Letter, Phsycotest, Interview, Management Trainee

              Listening, Reading, Writing, Speaking, IELTS Prediction www.EzIELTS.tk

                GMAT Exercise, Score Prediction, MBA,USA,Business, Management www.EzGMAT.tk

                Please Contact Us: ecustomer@mail.com www.AdsbyGoogle.tk

                  TOEFL Online,Score Prediction,Preparation, Exercise www.EzTOEFL.tk




                      geovisite
                      geovisite



                        Free Blog Counter