Putusan MK dan fenomena Trade-Off
Oleh Fatkhuri
Pemerhati Politik tinggal di Canberra
Banyak kalangan menilai, Putusan MK dengan mengesahkan system suara terbanyak, yang kemudian menganulir system nomor urut merupakan pintu gerbang terejawentahkannya kedaulatan rakyat. Lebih jauh kelompok ini berpendapat bahwa, system suara terbanyak atau dalam diskursus ilmu politik lebih dikenal sebagai “pluarity/majority system” merupakan upaya mendorong konsolidasi demokrasi di Indonesia. Terlepas dari pendapat ini, putusan MK menghadirkan Trade-Off tersendiri dan fenomena ini merupakan konseksuensi logis dari keputusan tersebut. Namun, Trade-off inilah yang kemudian dijadikan justifikasi bagi mereka yang tidak sependapat dengan keputusan MK dan kondisi tersebut pada giliranya berujung pada munculnya kritik terhadap putusan MK. Ada dua macam Trade-Off yang secara umum menjadi bahan perbincangan pasca keputusan MK dikeluarkan. Pertama, Trade-off tak bisa dielakan dimana keputusan MK dinilai berakibat pada terhambatnya keterwakilan perempuan dalam lembaga legislative. Kedua, Trade-Off yang terjadi berhubungan erat dengan melemahnya posisi partai politik.
Hambatan Keterwakilan perempuan
Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang pemilu legislative serta Undang-Undang No 2 tahun 2008 tentang partai politik mensaratkan keterwakilan 30 persen caleg perempuan untuk duduk di lembaga legislative. Sebagai manifestasi dari akomodasi keterwakilan perempuan tersebut, salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan menjalankan Zipper System. Sistem tersebut merupakan bentuk affirmative action untuk mendorong perempuan mempunyai keterwakilan sesuai dengan amanat undang-undang. Dalam tataran praksisnya, zipper system menempatkan caleg perempuan pada posisi yang strategis dimana setiap ada 3 calon legislative, maka salah satunya harus diisi oleh caleg perempuan. Sistem Zipper ini dinilai sangat effektif untuk mengimplementasikan affirmation action sehingga eksistensi perempuan dalam kancah politik mendapat perlakuan khusus.
Apa yang telah diupayakan pemerintah melalui system tersebut diatas sangat jelas dalam rangka menegakan keadilan terhadap hak-hak perempuan yang selama ini dikebiri dari arena politik praktis. Yang menjadi persoalan kemudian adalah, ketika pasal 214 UU No 10 2008 yang menggunakan system nomor urut dimentahkan, maka upaya keras yang sudah digagas pemerintah untuk menegakan keadilan gender dalam kancah politik menjadi kian kabur. Padahal, diberlakukannya system suara terbanyak pada dasarnya juga dalam rangka menegakan keadilan bagi seluruh warga masyarakat untuk bisa berlaga dalam pemilihan umum legislative. Pertanyaan yang muncul adalah, haruskah keadilan berbasis gender dinafikan demi mewujudkan keadilan berbasis komunitas lebih luas?
Menurut hemat saya, setiap keputusan apapun bentuknya pasti mengandung resiko dimana akan ada kelompok yang dikorbankan. Fenomena inilah yang saya sebut sebagai trade off. Sistem suara terbanyak dinilai sudah tepat sebagai upaya untuk menegakan keadilan rakyat dengan mengembalikan kedaulatan rakyat secara utuh tanpa intervensi dominan partai politik. Trade-Off dalam kontek keputusan MK merupakan konsekuensi logis. Namun, Trade-Off tersebut sebetulnya masih bisa disiasati dengan beberapa strategi sehingga keputusan MK tidak mengorbankan kepentingan perempuan. Pertama, perlu diadakan pembekalan secara intensive kepada caleg-caleg perempuan agar mereka siap bertarung dalam pemilu 2009 nanti. Pembekalan tersebut bisa dalam bentuk traning, seminar, diskusi kelompok (groups discussion) yang muaranya adalah melakukan pencerahan politik terhadap caleg-caleg perempuan. Kedua, seluruh caleg perempuan harus didorong untuk mempunyai optimisme yang tinggi bahwa mereka bisa bertarung dengan caleg-caleg lain terutama caleg laki-laki. Pendapat yang mengatakan bahwa opportunity kaum perempuan semakin terhimpit sebagai akibat dari keputusan MK sudah selayaknya dijadikan cambuk untuk membangkitkan gelora perjuangan perempuan untuk meraih kursi DPR maupun DPRD. Maka tidak seharusnya keputusan tersebut dijadikan sebagai aral dalam memantapkan langkah mereka. Bagaimanapun keputusan MK mendorong perempuan untuk bekerja lebih keras lagi agar bisa mendapatkan kursi di DPR maupun DPRD. Dus, keputusan MK sudah semestinya dianggap sebagai challenge (tantangan) bukan sebaliknya sebagai barrier (hambatan). Disinilah jatidiri seorang perempuan sedang diuji. Dan tentu ini merupakan tantangan besar buat kaum perempuan Indonesia yang ingin terjun dalam dunia politik.
Lemahnya posisi partai politik
Sebagian yang lain dari keputusan MK yang dipolemikan adalah implikasi keputusan tersebut dinilai semakin mengkerdilkan posisi partai politik dimana keputusan MK hanya akan mendorong parpol semakin tidak punya peran yang jelas. Ada dua alasan yang mendasari argumentasi tersebut. Pertama, system suara terbanyak dinilai mengkaburkan system kaderisasi yang terjadi ditubuh partai politik. Dengan diberlakukanya system suara terbanyak, maka proses kaderisasi di partai politik menjadi tidak bermakna. Sebab tanpa proses kaderisasi, masyarakat yang punya resources banyak akan mempunyai chance yang besar untuk menjadi caleg partai.
Kedua, sisitem suara terbanyak sama sekali tidak mengindahkan ekistensi kader partai yang sudah berjuang keras membesarkan partai. Dalam kaitan ini, system nomor urut merupakan salah satu bentuk reward partai terhadap kader-kader yang telah mencurahkan perhatiannya untuk ikut membesarkan partai. Akan tetapi dengan diberlakukannya system suara terbanyak, siapapun bisa menjadi calon legislative asalkan mereka popular dan mempunyai uang. Menurut pendapat tersebut, keputusan MK merupakan bentuk ketidakadilan terhadap pengurus parpol yang selama ini melakukan pengabdian dan dengan sabar membesarkan parpol mereka. Mereka beranggapan bahwa system suara terbanyak sama sekali tidak menghargai dedikasi pengurus yang telah menghabiskan waktu, tenaga dan pikirannya untuk membesarkan partai.
Bagaimanapun keadilan yang mereka dengung-dengungkan juga akan dijawab dengan isu keadilan dalam kontek yang lebih luas oleh mereka yang pro keputusan MK. Keadilan dimaksud adalah keadilan rakyat banyak. Sistem nomor urut dinilai memangkas kesempatan calon legislative terutama yang mempunyai nomor urut besar untuk bisa melenggang ke gedung DPR maupun DPRD. Inilah bentuk ketidak adilan yang dipersoalkan dalam system urut. Hal tersebut sangat beralasan sebab komposisi masing-masing calon legislative dalam berjuang meraih suara tidak sama satu sama lain terutama bagi mereka yang menduduki nomor teratas. Bagi mereka yang berada di nomor sepatu, maka sudah menjadi keniscayaan bagi mereka untuk berjuang keras agar bisa mencapai suara 30 persen atau lebih.
Dua elemen diatas merupakan fenomena trade off dari keputusan MK yang mesti harus diterima dengan legowo oleh berbagai kalangan. Adapun kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa keberadaan partai politik akan semakin hilang, maka keputusan MK bisa dijadikan penyemangat partai untuk meraup dukungan rakyat sebanyak-banyaknya. Dengan demikian partai betul-betul mempunya basis konstituen yang kuat.
Oleh Fatkhuri
Pemerhati Politik tinggal di Canberra
Banyak kalangan menilai, Putusan MK dengan mengesahkan system suara terbanyak, yang kemudian menganulir system nomor urut merupakan pintu gerbang terejawentahkannya kedaulatan rakyat. Lebih jauh kelompok ini berpendapat bahwa, system suara terbanyak atau dalam diskursus ilmu politik lebih dikenal sebagai “pluarity/majority system” merupakan upaya mendorong konsolidasi demokrasi di Indonesia. Terlepas dari pendapat ini, putusan MK menghadirkan Trade-Off tersendiri dan fenomena ini merupakan konseksuensi logis dari keputusan tersebut. Namun, Trade-off inilah yang kemudian dijadikan justifikasi bagi mereka yang tidak sependapat dengan keputusan MK dan kondisi tersebut pada giliranya berujung pada munculnya kritik terhadap putusan MK. Ada dua macam Trade-Off yang secara umum menjadi bahan perbincangan pasca keputusan MK dikeluarkan. Pertama, Trade-off tak bisa dielakan dimana keputusan MK dinilai berakibat pada terhambatnya keterwakilan perempuan dalam lembaga legislative. Kedua, Trade-Off yang terjadi berhubungan erat dengan melemahnya posisi partai politik.
Hambatan Keterwakilan perempuan
Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang pemilu legislative serta Undang-Undang No 2 tahun 2008 tentang partai politik mensaratkan keterwakilan 30 persen caleg perempuan untuk duduk di lembaga legislative. Sebagai manifestasi dari akomodasi keterwakilan perempuan tersebut, salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan menjalankan Zipper System. Sistem tersebut merupakan bentuk affirmative action untuk mendorong perempuan mempunyai keterwakilan sesuai dengan amanat undang-undang. Dalam tataran praksisnya, zipper system menempatkan caleg perempuan pada posisi yang strategis dimana setiap ada 3 calon legislative, maka salah satunya harus diisi oleh caleg perempuan. Sistem Zipper ini dinilai sangat effektif untuk mengimplementasikan affirmation action sehingga eksistensi perempuan dalam kancah politik mendapat perlakuan khusus.
Apa yang telah diupayakan pemerintah melalui system tersebut diatas sangat jelas dalam rangka menegakan keadilan terhadap hak-hak perempuan yang selama ini dikebiri dari arena politik praktis. Yang menjadi persoalan kemudian adalah, ketika pasal 214 UU No 10 2008 yang menggunakan system nomor urut dimentahkan, maka upaya keras yang sudah digagas pemerintah untuk menegakan keadilan gender dalam kancah politik menjadi kian kabur. Padahal, diberlakukannya system suara terbanyak pada dasarnya juga dalam rangka menegakan keadilan bagi seluruh warga masyarakat untuk bisa berlaga dalam pemilihan umum legislative. Pertanyaan yang muncul adalah, haruskah keadilan berbasis gender dinafikan demi mewujudkan keadilan berbasis komunitas lebih luas?
Menurut hemat saya, setiap keputusan apapun bentuknya pasti mengandung resiko dimana akan ada kelompok yang dikorbankan. Fenomena inilah yang saya sebut sebagai trade off. Sistem suara terbanyak dinilai sudah tepat sebagai upaya untuk menegakan keadilan rakyat dengan mengembalikan kedaulatan rakyat secara utuh tanpa intervensi dominan partai politik. Trade-Off dalam kontek keputusan MK merupakan konsekuensi logis. Namun, Trade-Off tersebut sebetulnya masih bisa disiasati dengan beberapa strategi sehingga keputusan MK tidak mengorbankan kepentingan perempuan. Pertama, perlu diadakan pembekalan secara intensive kepada caleg-caleg perempuan agar mereka siap bertarung dalam pemilu 2009 nanti. Pembekalan tersebut bisa dalam bentuk traning, seminar, diskusi kelompok (groups discussion) yang muaranya adalah melakukan pencerahan politik terhadap caleg-caleg perempuan. Kedua, seluruh caleg perempuan harus didorong untuk mempunyai optimisme yang tinggi bahwa mereka bisa bertarung dengan caleg-caleg lain terutama caleg laki-laki. Pendapat yang mengatakan bahwa opportunity kaum perempuan semakin terhimpit sebagai akibat dari keputusan MK sudah selayaknya dijadikan cambuk untuk membangkitkan gelora perjuangan perempuan untuk meraih kursi DPR maupun DPRD. Maka tidak seharusnya keputusan tersebut dijadikan sebagai aral dalam memantapkan langkah mereka. Bagaimanapun keputusan MK mendorong perempuan untuk bekerja lebih keras lagi agar bisa mendapatkan kursi di DPR maupun DPRD. Dus, keputusan MK sudah semestinya dianggap sebagai challenge (tantangan) bukan sebaliknya sebagai barrier (hambatan). Disinilah jatidiri seorang perempuan sedang diuji. Dan tentu ini merupakan tantangan besar buat kaum perempuan Indonesia yang ingin terjun dalam dunia politik.
Lemahnya posisi partai politik
Sebagian yang lain dari keputusan MK yang dipolemikan adalah implikasi keputusan tersebut dinilai semakin mengkerdilkan posisi partai politik dimana keputusan MK hanya akan mendorong parpol semakin tidak punya peran yang jelas. Ada dua alasan yang mendasari argumentasi tersebut. Pertama, system suara terbanyak dinilai mengkaburkan system kaderisasi yang terjadi ditubuh partai politik. Dengan diberlakukanya system suara terbanyak, maka proses kaderisasi di partai politik menjadi tidak bermakna. Sebab tanpa proses kaderisasi, masyarakat yang punya resources banyak akan mempunyai chance yang besar untuk menjadi caleg partai.
Kedua, sisitem suara terbanyak sama sekali tidak mengindahkan ekistensi kader partai yang sudah berjuang keras membesarkan partai. Dalam kaitan ini, system nomor urut merupakan salah satu bentuk reward partai terhadap kader-kader yang telah mencurahkan perhatiannya untuk ikut membesarkan partai. Akan tetapi dengan diberlakukannya system suara terbanyak, siapapun bisa menjadi calon legislative asalkan mereka popular dan mempunyai uang. Menurut pendapat tersebut, keputusan MK merupakan bentuk ketidakadilan terhadap pengurus parpol yang selama ini melakukan pengabdian dan dengan sabar membesarkan parpol mereka. Mereka beranggapan bahwa system suara terbanyak sama sekali tidak menghargai dedikasi pengurus yang telah menghabiskan waktu, tenaga dan pikirannya untuk membesarkan partai.
Bagaimanapun keadilan yang mereka dengung-dengungkan juga akan dijawab dengan isu keadilan dalam kontek yang lebih luas oleh mereka yang pro keputusan MK. Keadilan dimaksud adalah keadilan rakyat banyak. Sistem nomor urut dinilai memangkas kesempatan calon legislative terutama yang mempunyai nomor urut besar untuk bisa melenggang ke gedung DPR maupun DPRD. Inilah bentuk ketidak adilan yang dipersoalkan dalam system urut. Hal tersebut sangat beralasan sebab komposisi masing-masing calon legislative dalam berjuang meraih suara tidak sama satu sama lain terutama bagi mereka yang menduduki nomor teratas. Bagi mereka yang berada di nomor sepatu, maka sudah menjadi keniscayaan bagi mereka untuk berjuang keras agar bisa mencapai suara 30 persen atau lebih.
Dua elemen diatas merupakan fenomena trade off dari keputusan MK yang mesti harus diterima dengan legowo oleh berbagai kalangan. Adapun kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa keberadaan partai politik akan semakin hilang, maka keputusan MK bisa dijadikan penyemangat partai untuk meraup dukungan rakyat sebanyak-banyaknya. Dengan demikian partai betul-betul mempunya basis konstituen yang kuat.