di publikasi di radar tegal 14 Desember 2008
http://www.radartegal.com/index.php?option=com_content&task=view&id=8734&Itemid=8
Pergeseran preferensi politik masyarakat
Fatkhuri
Pemerhati Politik dan Kebijakan
Kejutan menarik ditunjukan dari hasil survey yang di rilis oleh Lembaga Survey Nasional (LSN) baru-baru ini. Ada dua hal yang menarik di garisbawahi disini. Pertama, Hasil survey menyebutkan bahwa sebanyak 18,4 persen responden menyebut Gerindra sebagai partai yang paling peduli dengan nasib petani.Perolehan angka fantastis dan mengejutkan ini dinilai banyak kalangan tidak terlepas dari figure Prabowo sebagai orang yang selama ini konsisten memperjuangkan nasib petani lewat organisasi HKTI yang dipimpinnya. Ironisnya, PDIP yang selalu mengidentikkan diri sebagai partainya wong cilik dan akhir-akhir ini getol mengangkat isu-isu pertanian hanya disebut oleh 3,4 persen responden saja. Hal yang sama terjadi pada partai Islam dimana PKNU menduduki peringkat pertama di persepsi sebagai partai paling Islami yang mencapai persentase terbesar responden (76,9%). Sebaliknya, PKS yang selama ini di persepsi sebagai partai yang mengusung idiologi dakwah Islam, harus rela tergeser oleh partai PKNU, dimana persentasenya adalah 63,9% responden. Melihat realitas tersebut, pertanyaan yang muncul adalah bergeserkah preferensi pemilih Indonesia dari tradisional ke rasional?
Berangkat dari fenomena yang ada, menurut pengamatan saya, preferensi politik masyarakat Indonesia tengah mengalami proses perubahan yang dramatis. Hasil survey memang tidak segala-galanya dan tidak bisa selamanya dijadikan sandaran. Seiring berjalanya waktu, dimana dinamika perubahan baik ekonomi, politik dan social budaya, akan berpengaruh terhadap kondisi psikologi seseorang. Bergesernya kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap cara pandang dan persepsi masyarakat akan sesuatu. Apa yang dikatakan “bagus” menurut masyarakat saat ini, belum tentu bagus untuk masa yang akan datang. Namun, hasil survey diatas setidaknya bisa dijadikan hipotesis yang perlu diuji kebenaranya. Hipotesis ini menunjukan bahwa masyarakat tengah mengalami perubahan politik dimana preferensi politik mereka semakin independent. Hal ini tidak terlepas dari hasil proses pembelajaran selama satu decade selama reformasi bergulir. Terbukanya saluran komunikasi lewat banyaknya media yang tersedia, pada akhirnya memberikan imbas kepada masyarakat untuk lebih terbuka dengan linngkunganya dan tidak mudah untuk ditarik-tarik oleh beberapa kelompok untuk kepentingan tertentu.
Kondisi tersebut mengisyaratkan bahwa mansyarakat mulai mempunyai kepekaan terhadap diri sendiri dan lingkunganya sebagai hasil interaksi inderawi dengan lingkungan yang ada. Masyarakat Indonesia saat ini seperti yang dikatakan oleh teori behaviourismenya Ivan Pavlou. Dalam teori tersebut, Pavlou membuat rumusan dengan apa yang dia sebut sebagai Classical Conditioning. Teori ini mengatakan bahwa terjadinya perubahan perilaku dapat diakibatkan oleh rangsangan (stimulus) yang tidak berkondisi atau bersyarat yang disebut dengan unconditioned stimulus atau dapat juga dikatakan dengan rangsangan alamiah. Disisi lain, teori ini juga mengatakan perubahan perilaku dapat pula diakibatkan oleh rangsangan terkondisi atau bersyarat (conditioned stimulus).
Kedua proses tersebut (alamiah dan terkondisi) merupakan fenomena yang ada dalam setiap kehidupan. Dalam kontek masyarakat Indonesia saat ini, adanya berbagai macam program tayangan di beberapa media seperti televisi, Koran, majalah dan lain sebagainya merupakan bentuk proses belajar secara alamiah yang dilakukan masyarakat. Dengan menggunakan indra penglinghatan dan pendengaran, masyarakat banyak mencerna stimulus dari luar yang tanpa sadar dari proses tersebut telah menghasilkan tambahan pengetahuan bagi mereka. Hal yang sama terjadi pada proses pembelajaran secara non alamiah. Menjamurnya berbagai macam program pemberdayaan masyarakat baik yang dilakukan Pemerintah, LSM, dan partai politik merupakan contoh nyata proses pembelajaran secara terkondisi dan bersyarat. Dari sini masyarakat akan banyak mendapatkan input sehingga berpengaruh terhadap cara berfikir mereka.
Disadari ataupun tidak, hasil proses pembelajaran tersebut pada akhirnya memperkokoh tiang independensi masyarakat. Dan tentu ini merupakan dampak positif dari transisi demokrasi di Indonesia. Ekses dari pendidikan baik secara alamiah maupun tidak, bisa kita lihat dari realitas bahwa, saat ini masyarakat kita tidak gampang di ombang ambingkan oleh berbagai macam bentuk proses pencitraan yang dilakukan oleh berbagai elemen terutama partai politik, yang pada saat sekarang sedang gencar-gencarnya membangun citra positif dimata rakyat menjelang pemilihan legislative dan president 2009.
Dengan kata lain, masyarakat sudah mulai cerdas dan mandiri dalam menentukan sikap dan pilihan politiknya. Masyarakat tidak mudah untuk dipengaruhi apalagi dengan jargon-jargon yang tidak jelas jeluntrungnya. Inilah kenyataan real yang terjadi menjelang pemilihan umum 2009. Apa yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah bukan narasi besar, melainkan aksi-aksi nyata elit-elit politik dalam rangka mendorong perubahan hidup masyarakat kearah yang lebih baik. Masyarakat sudah capai dan jenuh dengan permainan elit. Mereka tidak lagi mau dibodohi dengan janji-janji semu, yang pada akhirnya akan menghancurkan kehidupan mereka sendiri. Inilah kenyataan yang harus diwaspadai oleh partai-partai politik saat ini. Partai-partai harus lebih berhati-hati dan cerdas dalam mempengaruhi masyarakat. Hasil survey diatas sangat jelas tergambar bahwa dedikasi seorang Prabowo dalam dunia pertanian lewat organisasinya ternyata memberikan dampak nyata terhadap perubahan preferensi politik masyarakat. Masyarakat tidak lagi melihat prabowo sebagai orang yang mempunyai catatan hitam dalam sejarah bangsa Indonesia. Akan tetapi masyarakat melihatnya bahwa Prabowo adalah seorang figure yang telah mencurahkan hidupnya bagi nasib kaum Tani Indonesia.
Begitupun sebaliknya, PDIP yang selama ini dengan tegas mengklaim partainya orang kecil, pada kenyataanya dengan mudah di geser oleh Gerindra. Kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat tidak lagi doyan dengan dagangan janji, slogan dan semacamnya, akan tetapi dedikasi elit terhadap keberpihakan orang kecilah yang menjadi tombak keberhasilan dalam mempengaruhi preferensi masyarakat. Kenyatan ini juga mengindikasikan bahwa preferensi politik masyarakat saat ini tidak lagi jatuh pada mainstream idiologi dan charisma. Minimnya prosentase yang diraih oleh PDIP dalam survey tersebut semakin memperkuat argument bahwa idiologi dan charisma tidak lagi sebagai factor yang paling fundamental dalam proses mempengaruhi pilihan rakyat.
Lebih lanjut, realitas diatas disamping memberikan gambaran baru tentang proses transformasi masyarakat, juga bisa dijadikan masukan berharga untuk seluruh partai politik untuk tidak mudah menjual iklan, jargon dan symbol-simbol yang tidak bersentuhan langsung dengan kebutuhan hidup masyarakat bawah. Hal ini dikarenakan masyarakat pemilih Indonesia meski banyak kalangan melihat masih di dominasi pemilih tradisional, sedang dan akan terus mengalami pergeseran preferensi yang cukup dramatis dari pemilih tradisional ke pemilih rasional. Dan menurut hemat saya, pergeseran preferensi politik pemilih ini perlu dilakukan survey lebih lanjut sehingga partai politik bisa membingkai strategi baru untuk mendekati pemilih.
Survey dari Lembaga LSN tersebut patut dijadikan bahan refleksi dan evaluasi partai politik. Pemilu 2009 sangat berbeda dengan pemilu 2004, 1999 apalagi orde baru dan orde lama. Pemilu 2009 merupakan tantangan besar buat partai-partai politik ketika masyarakat sudah mulai independen dalam menentukan preferensi politiknya. Fenomena pegeseran dari traditional voters ke rational voters harus cepat diantisipasi dengan strategi baru dan komitmen baru partai politik. Janji, jargon/slogan, dan kunjugan saja tidak cukup akan tetapi dibutuhkan energi social dan politik yang cukup besar untuk bisa meyakinkan masyarakat agar mereka mau memilih.
http://www.radartegal.com/index.php?option=com_content&task=view&id=8734&Itemid=8
Pergeseran preferensi politik masyarakat
Fatkhuri
Pemerhati Politik dan Kebijakan
Kejutan menarik ditunjukan dari hasil survey yang di rilis oleh Lembaga Survey Nasional (LSN) baru-baru ini. Ada dua hal yang menarik di garisbawahi disini. Pertama, Hasil survey menyebutkan bahwa sebanyak 18,4 persen responden menyebut Gerindra sebagai partai yang paling peduli dengan nasib petani.Perolehan angka fantastis dan mengejutkan ini dinilai banyak kalangan tidak terlepas dari figure Prabowo sebagai orang yang selama ini konsisten memperjuangkan nasib petani lewat organisasi HKTI yang dipimpinnya. Ironisnya, PDIP yang selalu mengidentikkan diri sebagai partainya wong cilik dan akhir-akhir ini getol mengangkat isu-isu pertanian hanya disebut oleh 3,4 persen responden saja. Hal yang sama terjadi pada partai Islam dimana PKNU menduduki peringkat pertama di persepsi sebagai partai paling Islami yang mencapai persentase terbesar responden (76,9%). Sebaliknya, PKS yang selama ini di persepsi sebagai partai yang mengusung idiologi dakwah Islam, harus rela tergeser oleh partai PKNU, dimana persentasenya adalah 63,9% responden. Melihat realitas tersebut, pertanyaan yang muncul adalah bergeserkah preferensi pemilih Indonesia dari tradisional ke rasional?
Berangkat dari fenomena yang ada, menurut pengamatan saya, preferensi politik masyarakat Indonesia tengah mengalami proses perubahan yang dramatis. Hasil survey memang tidak segala-galanya dan tidak bisa selamanya dijadikan sandaran. Seiring berjalanya waktu, dimana dinamika perubahan baik ekonomi, politik dan social budaya, akan berpengaruh terhadap kondisi psikologi seseorang. Bergesernya kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap cara pandang dan persepsi masyarakat akan sesuatu. Apa yang dikatakan “bagus” menurut masyarakat saat ini, belum tentu bagus untuk masa yang akan datang. Namun, hasil survey diatas setidaknya bisa dijadikan hipotesis yang perlu diuji kebenaranya. Hipotesis ini menunjukan bahwa masyarakat tengah mengalami perubahan politik dimana preferensi politik mereka semakin independent. Hal ini tidak terlepas dari hasil proses pembelajaran selama satu decade selama reformasi bergulir. Terbukanya saluran komunikasi lewat banyaknya media yang tersedia, pada akhirnya memberikan imbas kepada masyarakat untuk lebih terbuka dengan linngkunganya dan tidak mudah untuk ditarik-tarik oleh beberapa kelompok untuk kepentingan tertentu.
Kondisi tersebut mengisyaratkan bahwa mansyarakat mulai mempunyai kepekaan terhadap diri sendiri dan lingkunganya sebagai hasil interaksi inderawi dengan lingkungan yang ada. Masyarakat Indonesia saat ini seperti yang dikatakan oleh teori behaviourismenya Ivan Pavlou. Dalam teori tersebut, Pavlou membuat rumusan dengan apa yang dia sebut sebagai Classical Conditioning. Teori ini mengatakan bahwa terjadinya perubahan perilaku dapat diakibatkan oleh rangsangan (stimulus) yang tidak berkondisi atau bersyarat yang disebut dengan unconditioned stimulus atau dapat juga dikatakan dengan rangsangan alamiah. Disisi lain, teori ini juga mengatakan perubahan perilaku dapat pula diakibatkan oleh rangsangan terkondisi atau bersyarat (conditioned stimulus).
Kedua proses tersebut (alamiah dan terkondisi) merupakan fenomena yang ada dalam setiap kehidupan. Dalam kontek masyarakat Indonesia saat ini, adanya berbagai macam program tayangan di beberapa media seperti televisi, Koran, majalah dan lain sebagainya merupakan bentuk proses belajar secara alamiah yang dilakukan masyarakat. Dengan menggunakan indra penglinghatan dan pendengaran, masyarakat banyak mencerna stimulus dari luar yang tanpa sadar dari proses tersebut telah menghasilkan tambahan pengetahuan bagi mereka. Hal yang sama terjadi pada proses pembelajaran secara non alamiah. Menjamurnya berbagai macam program pemberdayaan masyarakat baik yang dilakukan Pemerintah, LSM, dan partai politik merupakan contoh nyata proses pembelajaran secara terkondisi dan bersyarat. Dari sini masyarakat akan banyak mendapatkan input sehingga berpengaruh terhadap cara berfikir mereka.
Disadari ataupun tidak, hasil proses pembelajaran tersebut pada akhirnya memperkokoh tiang independensi masyarakat. Dan tentu ini merupakan dampak positif dari transisi demokrasi di Indonesia. Ekses dari pendidikan baik secara alamiah maupun tidak, bisa kita lihat dari realitas bahwa, saat ini masyarakat kita tidak gampang di ombang ambingkan oleh berbagai macam bentuk proses pencitraan yang dilakukan oleh berbagai elemen terutama partai politik, yang pada saat sekarang sedang gencar-gencarnya membangun citra positif dimata rakyat menjelang pemilihan legislative dan president 2009.
Dengan kata lain, masyarakat sudah mulai cerdas dan mandiri dalam menentukan sikap dan pilihan politiknya. Masyarakat tidak mudah untuk dipengaruhi apalagi dengan jargon-jargon yang tidak jelas jeluntrungnya. Inilah kenyataan real yang terjadi menjelang pemilihan umum 2009. Apa yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah bukan narasi besar, melainkan aksi-aksi nyata elit-elit politik dalam rangka mendorong perubahan hidup masyarakat kearah yang lebih baik. Masyarakat sudah capai dan jenuh dengan permainan elit. Mereka tidak lagi mau dibodohi dengan janji-janji semu, yang pada akhirnya akan menghancurkan kehidupan mereka sendiri. Inilah kenyataan yang harus diwaspadai oleh partai-partai politik saat ini. Partai-partai harus lebih berhati-hati dan cerdas dalam mempengaruhi masyarakat. Hasil survey diatas sangat jelas tergambar bahwa dedikasi seorang Prabowo dalam dunia pertanian lewat organisasinya ternyata memberikan dampak nyata terhadap perubahan preferensi politik masyarakat. Masyarakat tidak lagi melihat prabowo sebagai orang yang mempunyai catatan hitam dalam sejarah bangsa Indonesia. Akan tetapi masyarakat melihatnya bahwa Prabowo adalah seorang figure yang telah mencurahkan hidupnya bagi nasib kaum Tani Indonesia.
Begitupun sebaliknya, PDIP yang selama ini dengan tegas mengklaim partainya orang kecil, pada kenyataanya dengan mudah di geser oleh Gerindra. Kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat tidak lagi doyan dengan dagangan janji, slogan dan semacamnya, akan tetapi dedikasi elit terhadap keberpihakan orang kecilah yang menjadi tombak keberhasilan dalam mempengaruhi preferensi masyarakat. Kenyatan ini juga mengindikasikan bahwa preferensi politik masyarakat saat ini tidak lagi jatuh pada mainstream idiologi dan charisma. Minimnya prosentase yang diraih oleh PDIP dalam survey tersebut semakin memperkuat argument bahwa idiologi dan charisma tidak lagi sebagai factor yang paling fundamental dalam proses mempengaruhi pilihan rakyat.
Lebih lanjut, realitas diatas disamping memberikan gambaran baru tentang proses transformasi masyarakat, juga bisa dijadikan masukan berharga untuk seluruh partai politik untuk tidak mudah menjual iklan, jargon dan symbol-simbol yang tidak bersentuhan langsung dengan kebutuhan hidup masyarakat bawah. Hal ini dikarenakan masyarakat pemilih Indonesia meski banyak kalangan melihat masih di dominasi pemilih tradisional, sedang dan akan terus mengalami pergeseran preferensi yang cukup dramatis dari pemilih tradisional ke pemilih rasional. Dan menurut hemat saya, pergeseran preferensi politik pemilih ini perlu dilakukan survey lebih lanjut sehingga partai politik bisa membingkai strategi baru untuk mendekati pemilih.
Survey dari Lembaga LSN tersebut patut dijadikan bahan refleksi dan evaluasi partai politik. Pemilu 2009 sangat berbeda dengan pemilu 2004, 1999 apalagi orde baru dan orde lama. Pemilu 2009 merupakan tantangan besar buat partai-partai politik ketika masyarakat sudah mulai independen dalam menentukan preferensi politiknya. Fenomena pegeseran dari traditional voters ke rational voters harus cepat diantisipasi dengan strategi baru dan komitmen baru partai politik. Janji, jargon/slogan, dan kunjugan saja tidak cukup akan tetapi dibutuhkan energi social dan politik yang cukup besar untuk bisa meyakinkan masyarakat agar mereka mau memilih.