" Selamat datang di situs pribadiku. Mari dengan semangat keakraban, kecerdasan, kritis tetapi menjunjung tinggi kejujuran dalam berkomunikasi, kita kuak tabir kehidupan nyata yang terjadi dalam kehidupan kita "!

Koran Suara Merdeka
28 Maret 2009 http://www.suaramerdeka.com/

Oleh Fatkhuri

FENOMENA politik Indonesia memang unik --untuk tidak mengatakan kompleks. Wajah perpolitikan Indonesia selalu tidak bisa dilepaskan dari perlagaan dan berbagai tingkah laku para politikus.


Ada dua elemen penting yang menarik didiskusikan. Pertama perilaku elite politik yang digolongkan sebagai politikus busuk. Yang menarik politikus busuk ini dinilai banyak kalangan sebagai biang kehancuran bangsa ini sehingga reformasi terseok-seok.

Kedua pemilih buruk. Fenomena ini hampir luput dari perhatian kita padahal fenomena ini tidak kalah menarik dari politikus busuk. Keduanya memiliki kesamaan bentuk, yakni sama-sama pragmatis dengan menafikan aspek rasionalitas dan moral.

Yang pertama pragmatisme elite untuk mengejar dan mempertahankan kekuasaan dan yang kedua pragmatisme grass root masyarakat untuk mendapatkan imbalan berupa uang dan semacamnya. Ada dua pertanyaan yang bisa diajukan, siapa politikus busuk dan pemilih buruk itu? Pengaruh apa yang ditimbulkan dari perilaku politikus busuk?

Penamaan politikus busuk menunjuk kepada tingkah laku (political behavior) seseorang. Seseorang adalah para politikus yang selama ini dinilai hanya berjuang demi keuntungan sesaat dan sama sekali tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Politikus busuk mencerminkan ketidakberesan perilaku elite politik yang bekerja hanya untuk memenuhi kepentingan atau syahwat politik pribadi dan kroni.

Imbas dari kondisi ini, tata kelola pemerintahan menjadi amburadul sebab kemelajuan para pemimpin ke singgasana kekuasaan tidak berdasarkan pada kualitas individu tapi lebih pada aspek hubungan (kedekatan) kekerabatan dan kepemilikan uang.

Di Indonesia upaya untuk mengikis tingkah laku elite politik yang demikian sesungguhnya sudah dilakukan --salah satunya menyosialisasikan agar tidak memilih para politikus busuk tersebut. Namun demikian, fakta di lapangan menunjukan fenomena politikus busuk sangat susah untuk dibasmi.

Politikus Busuk

Siapa politikus busuk itu? Terkait dengan persoalan ini, ada beberapa parameter yang bisa dipakai untuk mengetahui siapa yang bisa masuk dalam kategori politikus busuk. Sebagaimana dilansir okezone, menurut koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Teten Masduki, jenis-jenis politikus busuk adalah politikus yang boros, tamak, dan korup, penjahat dan pecemar lingkungan, pelanggar HAM dan pemakai Narkoba dan sebagainya.

Karakteristik semacam itu menggambarkan betapa para politikus kita sudah mengalami sesuatu yang oleh Anleu (1995) disebut sebagai perilaku tidak normal atau menyimpang (deviant behavior). Dalam ”Pengantar” Deviance Conformity and Control (1995), Anleu memberikan banyak definisi tentang perilaku abnormal tersebut. Di antaranya adalah aneh (bizarre), non-conformist, alien (tidak dikenal), dan berbeda dari masyarakat yang lain (different from the rest of society). Semua tingkah laku itu dianggap tidak normal sebab telah menyimpang dari yang diyakini oleh masyarakat sebagai kebaikan dan kebajikan.

Contoh paling nyata dan kita saksikan saat ini adalah tingkah laku sebagian politikus Indonesia. Dalam konteks pemilu sekarang, fenomena bagi-bagi uang hampir dipastikan selalu mengiringi setiap gerak langkah para politikus meskipun ada sebagian yang lain mencoba berjalan lurus. Hampir bisa dipastikan, kekuasan yang diperoleh dengan cara-cara yang menyimpang seperti ini akan menghasilkan wakil rakyat atau pemimpin yang korup dan jauh dari semangat akuntabilitas dan kredibilitas.

Imbalan

Pada Pemilu 2004, kita tidak sering mendengar ada pemilih buruk. Meski fenomenanya sudah lama ada, namun isu ini belum memiliki magnet yang bisa menjadi daya tarik semua orang untuk memperbincangkan apalagi mengkritik. Pemilu 2009 memunculkan gejala baru. Selain bertebaran politikus busuk, juga muncul pemilih buruk.

Siapa pemilih buruk? Sederhananya, pemilih buruk adalah mereka yang mau berpartisipasi dalam setiap proses atau aktivitas politik kalau ada imbalan. Imbalan tersebut bisa berupa uang, barang maupun service yang umumnya diberikan secara cuma-cuma atau gratis oleh para calon. Sebaliknya mereka tidak mau berpartisipasi kalau tidak ada imbalan tersebut.

Mengapa pemilih buruk? Dikatakan pemilih buruk karena mereka sebetulnya melakukan praktik yang menyimpang (deviant behavior) tidak sekadar keluar dari regulasi yang telah diputuskan dan disepakati bersama oleh pemerintah akan tetapi juga dari standar kepantasan/ etika yang berlaku di masyarakat.

Melihat realitas ini, apa yang menyebabkan masyarakat kita menjadi semakin pragmatis dengan menjadi pemilih buruk? Jawaban sederhananya pemilih buruk sebetulnya muncul sebagai dampak ikutan dari budaya kotor yang ditanamkan oleh para politikus busuk. Kita semua tahu, para politikus acap melakukan praktik kotor dengan sering membagi-bagikan uang terhadap masyarakat. Karena sering para politikus ini memberikan uang pada saat kampanye, maka masyarakat pun menjadi kian dekat dengan kebiasaan seperti ini.

Di setiap kesempatan ketika para caleg melakukan kunjungan dalam rangka menggalang dukungan, kerap masyarakat pragmatis dengan menjadi pengemis. Masyarakat telah memersepsi para caleg sebagai donatur yang siap menggelontorkan uang untuk mereka. Masyarakat mengasumsikan kampanye adalah ajang bagi-bagi duit oleh para calon.

Mereka tidak sadar, dengan mendapatkan uang melalui cara-cara seperti itu, mereka sebetulnya sedang menyumbang derita untuk periode yang tidak pendek (lima tahun). Mereka tidak pernah tahu, kalau praktik mengemis kepada para politikus sebetulnya merupakan bom waktu bunuh diri.

Padahal kalau masyarakat kita tahu, tentu mereka tidak akan menjadi pengemis. Sebab mereka akan sadar dengan menerima uang yang hanya bisa dinikmati dalam waktu singkat (satu hari/satu minggu), mereka akan menderita selama lima tahun.

Hanya saja upaya membendung politik uang memang susah sehingga dibutuhkan sosialisasi secara terus-menerus agar budaya kotor ini bisa terkikis. Mereka merasa meminta uang kepada para politikus adalah sebagai ganti rugi dari pekerjaan yang mereka tinggalkan. Tidak sedikit para politikus yang semula menghindari praktik politik uang kemudian terjebak dalam praktik semacam ini. (35)

–– Fatkhuri, pemerhati politik dan kandidat master bidang Kebijakan Publik di Crawford School, Australian National University (ANU), Canberra



Post a Comment



    Download



    Download



    Download



    Download


      "Pembaca yang terhormat, agar selalu memperoleh informasi terbaru dari kami, silahkan ketik alamat email anda pada kotak dibawah ini, untuk informasi lainya silahkan hubungi:fatur@mail.com".

      David


      "Dear reader, for recived up to date information from Us please submit your email address below, for further information please contact: fatur@mail.com"

      Virgie


        Business, Strategy, Standard Operational Procedure www.EzBook.tk

          Marketing,Advertising,Sales, Accounting, Franchise www.EzJournal.tk

            AusAid, USAID,Sampoerna Foundation, AsiaInvest www.EzScholar.tk

            Application Letter, Phsycotest, Interview, Management Trainee

              Listening, Reading, Writing, Speaking, IELTS Prediction www.EzIELTS.tk

                GMAT Exercise, Score Prediction, MBA,USA,Business, Management www.EzGMAT.tk

                Please Contact Us: ecustomer@mail.com www.AdsbyGoogle.tk

                  TOEFL Online,Score Prediction,Preparation, Exercise www.EzTOEFL.tk




                      geovisite
                      geovisite



                        Free Blog Counter