" Selamat datang di situs pribadiku. Mari dengan semangat keakraban, kecerdasan, kritis tetapi menjunjung tinggi kejujuran dalam berkomunikasi, kita kuak tabir kehidupan nyata yang terjadi dalam kehidupan kita "!

Oleh Fatkhuri MA
4 Oktober 2009


Setelah anggota DPR RI resmi di lantik pada tanggal 1 Oktober, tidak lama lagi komposisi kabinet baru pemerintahan SBY-Boediono segera diumumkan. Publik tentu berharap bahwa terbentuknya kabinet baru nanti betul-betul membawa arah perubahan yang lebih baik demi terciptanya kesejahteraan hidup bagi mereka. Sampai saat ini halayak masih menerka-nerka, siapa gerangan yang akan mengisi pos-pos penting dalam kabinet tersebut. Beberapa hari terakhir kerap muncul dalam pemberitaan baik dalam media elektronik maupun cetak, list nama-nama kandidat yang akan menjabat sebagai pembantu presiden tersebut. Dari sekian banyak deret nama-nama yang ada, menariknya ada beberapa nama yang berasal dari partai yang notabene sebagai contender (pesaing) pasangan Incumbent dalam pemilu presiden 2009. Seperti contoh, Andi Matalatta, Agung Laksono (GOLKAR), Cahyo Kumolo, Puan Maharani (PDIP), Prabowo Subianto (Gerindra) masuk dalam daftar kandidat menteri periode 2009-2014.



Masuknya nama-nama diluar partai koalisi praktis memantik banyak sorotan dari berbagai kalangan, baik pengamat maupun pakar politik. Suara mereka hampir seragam, tidak setuju kalau seandainya kader partai politik yang kalah dalam pemilu masuk dalam Kabinet SBY-Boediono. Memang harus diakui, dalam mantra politik tidak ada yang tidak mungkin, atas nama kepentingan, semua bukan mustahil. Namun demikian, mereka menilai bahwa masuknya tokoh-tokoh diluar partai peserta koalisi merupakan ancaman bagi demokrasi dimana pada saat yang sama bisa menjadi gejala munculnya kembali rejim otoritarianisme. Melihat realitas tersebut, akankah Indonesia kembali terjebak dalam system otoriter dengan masuknya beberapa kader partai yang kalah dalam pemilu?


Jalan baru menuju otoritarianisme

Drama yang dipertontonkan elit politik saat ini sebetulnya merupakan deskripsi lemahnya konsolidasi demokrasi di Indonesia. Terlebih jika nama-nama yang disebut diatas positif masuk kabinet SBY-Boediono untuk masa jabatan 2009-2014, maka bukan tidak mungkin, transisi demokrasi yang saat ini sedang dibangun akan mengarah kepada bentuk system illiberal demokrasi atau yang menurut Larry Diamond disebut sebagai “Hybrid regime”. Term “Illiberal demokrasi” sebagaimana diperkenalkan oleh Fareed Zakaria pada tahun 1997 tidak lebih dari praktek demokrasi prosedural yang merupakan lawan dari demokrasi yang sesungguhnya (substansi demokrasi). Illiberal demokrasi mengandaikan kondisi dimana kebebasan berkespresi dan pers dinihilkan. Disamping itu kekuasan cenderung terpusat serta pendekatan represi dan kekerasan menjadi alternative untuk menyelesaikan konflik ataupun kritik. Setali tiga uang, apa yang terurai dalam illiberal demokrasi kompatibel dengan apa yang Diamond (2002) sebut sebagai Hybrid regime. Hybrid rejim merupakan kombinasi antara demokrasi dan otoritarianisme. Kombinasi demokrasi dan otoritarianisme ini sebetulnya merupakan sistem politik yang sudah ada dan tumbuh sejak lama. Masih menurut Diamond, pada era 1960-an dan 1970-an, meski banyak sekali negara menganut sistem multi partai, dimana pemilihan umum juga dijalankan, akan tetapi banyak juga ditemui fakta bahwa proses pemilihan dan pembetukan pemerintahan cenderung tidak demokratis. Diamond menyebutkan, setidaknya beberapa negara seperti Meksiko, Singapura, Malaysia, Senegal, Afrika selatan, Rhodesia, dan Taiwan yang mempunyai pengalaman praktek semacam ini.

Penting dicatat bahwa karakteristik utama illiberal demokrasi adalah bahwa pelaksanaan demokrasi yang salah satunya diwujudkan dengan penyelenggaraan pemilihan umum kerap kali hanya menjadi formalitas prosesi pemilihan kepemimpinan belaka. Dalam kontek yang demikian, rakyat secara umum tidak mempunyai kesempatan yang cukup untuk mengkritisi pemerintahan disebabkan terbatasnya saluran politik yang mereka miliki.

Minimnya kesempatan yang diperoleh rakyat untuk mengkritisi pemerintahan pada giliranya berdampak pada lemahnya kekuatan oposisi. Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan pemerintahan menjadi absolut dan kepentingan rakyat kian terabaikan.

Kemenangan mutlak SBY-Boediono lewat partai Demokrat dimana mendapat sokongan dari partai politik papan tengah seperti PKS, PAN, PKB dan PPP lewat jalur koalisi bisa berdampak positif dalam kerangka membangun stabilitias pemerintahan karena mayoritas rakyat memilihnya. Namun demikian, kondisi tersebut sedikit banyak bisa mendorong jejak illiberal demokrasi di Indonesia menjadi kian kentara. Kemengan SBY-Boediono lebih dari 60 persen telah menunjukan bahwa pasangan ini cukup kuat dari rivalnya yang hanya mendapat suara kurang dari 30 persen (25 persen untuk Megawati-Prabowo dan 14 persen untuk Jusuf Kalla_wiranto). Banyak kalangan menilai, untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang demokratis, maka kekuatan SBY-Boediono perlu diimbangi dengan kekuatan oposisi sehingga fungsi check and balance bisa terlahir. Namun demikian, sinyal munculnya kekuatan penyeimbang sepertinya kian redup ketika fakta yang tersuguhkan menandaskan bahwa SBY lewat partai Demokrat tengah mencoba melakukan pendekatan terhadap partai Golkar, PDIP dan Gerindra. Munculnya fenomena tersebut bisa dijadikan asumsi awal, bahwa gerak otoritarianisme mulai muncul. Ada beberapa alasan mengapa indikasi tersebut bisa dijadikan alasan.

Pertama, Pendekatan Demokrat (PD) terhadap PDIP, Golkar, Gerindra bisa dimaknai bahwa PD menginginkan pemerintahan periode 2009-2014 berjalan stabil. Stabilitas pemerintahan tentu menjadi harapan besar SBY sebab berkaca pada pengalaman pemerintahan SBY-JK periode 2004-2009, goncangan seringkali muncul karena lemahnya kekuatan koalisi di DPR serta keberadaan PDIP sebagai partai oposisi yang konsisten mengkritisi kebijakan pemerintah. Disisi lain, kurang harmonisnya hubungan kedua petinggi negara antara SBY dan JK yang terkenal dengan sebutan matahari kembar telah memberi warna konflik semakin tegas. Dari sini SBY punya harapan besar bahwa perjalanan pemerintahn kedepan tidak sepahit pemerintahan yang ia jalan saat ini sehingga merekrut kader partai yang kalah merupakan jalan terbaik menuju harapan tersebut. Terlepas dari alasan rekonsiliasi nasional, bergabungnya kader partai tersebut bisa dijadikan cara efektif meredam partai-partai yang kalah untuk kritis terhadap pemerintahan.

Kedua, kemenangan mutlak partai demokrat dalam pemilu legislatif yang secara otomatis menghantarkan wakilnya menduduki rangking teratas perolehan kursi di DPR semakin mempertegas indikasi bahwa kebijakan pemerintah akan dengan mulus bisa diwujudkan. Belum lagi keberadaan partai-partai politik penyokong koalisi yang tentu akan bersuara sama dalam proses politik yang ada. Kondisi ini tentu semakin melemahkan posisi tawar parlemen sebab lembaga tersebut tidak bisa lagi diandalkan sebagai penjaga gawang kepentingan rakyat. Bukan mustahil setiap produk kebijakan pemerintah senantiasa gol ketika ditawarkan ke DPR.

Pasang surut demokrasi

Melihat realitas tersebut, jalan menuju terbangunya demokrasi di indonesia tetap akan mengalami pasang surut dimana upaya mewujudkannya tidak akan perñah sepi dari goncangan. Untuk menghindari pengulangan sejarah demokrasi seperti pada masa Soekarno lewat demokrasi terpimpinnya, kemudian Soeharto lewat rejim orde baru, semua berpulang dan bergantung kepada segenap komponen bangsa. Ketika barisan oposisi partai politik tidak lagi bergeming bahkan lebih tragis lagi terancam punah, ketika elemen pemerintah terlalu kuat dan institusi DPR tidak lagi bisa diandalkan sebagai pejuang kepentingan rakyat, maka harapan satu-satunya adalah mendorong effektifitas gerak kekuatan civil society dalam rangka mengawal pemerintahan. Dalam kontek ini, elemen kekuatan civil society harus mengambil peran oposisi yang hilang ditelan empuknya kue keuasaan oleh partai politik. Dengan mendorong kelompok civil society untuk tetap mengambil peran strategis mengawal pemerintahan, maka fungsi check and balance masih “sedikit” bisa diharapkan muncul. Tentu kita semua tidak ingin Indonesia kembali terjebak dalam ranjau illiberal demokrasi bahkan otoritarianisme.


Post a Comment



    Download



    Download



    Download



    Download


      "Pembaca yang terhormat, agar selalu memperoleh informasi terbaru dari kami, silahkan ketik alamat email anda pada kotak dibawah ini, untuk informasi lainya silahkan hubungi:fatur@mail.com".

      David


      "Dear reader, for recived up to date information from Us please submit your email address below, for further information please contact: fatur@mail.com"

      Virgie


        Business, Strategy, Standard Operational Procedure www.EzBook.tk

          Marketing,Advertising,Sales, Accounting, Franchise www.EzJournal.tk

            AusAid, USAID,Sampoerna Foundation, AsiaInvest www.EzScholar.tk

            Application Letter, Phsycotest, Interview, Management Trainee

              Listening, Reading, Writing, Speaking, IELTS Prediction www.EzIELTS.tk

                GMAT Exercise, Score Prediction, MBA,USA,Business, Management www.EzGMAT.tk

                Please Contact Us: ecustomer@mail.com www.AdsbyGoogle.tk

                  TOEFL Online,Score Prediction,Preparation, Exercise www.EzTOEFL.tk




                      geovisite
                      geovisite



                        Free Blog Counter