" Selamat datang di situs pribadiku. Mari dengan semangat keakraban, kecerdasan, kritis tetapi menjunjung tinggi kejujuran dalam berkomunikasi, kita kuak tabir kehidupan nyata yang terjadi dalam kehidupan kita "!


Get Twitter Buttons Fatkhuri, twitter, @fatur_fatkhuri
OPINI Kompasiana| 11 April 2011

Lagi-lagi korupsi. Kata itulah barangkali yang bisa mewakili kekesalan publik atas ulah sebagian petinggi negeri yang tidak bosan-bosannya melakukan tindakan korupsi. Entah sampai kapan episode korupsi akan berakhir, publik pun belum bisa memastikannya. Sebab korupsi masih menjadi penyakit yang sampai hari ini masih terasa sulit untuk mengobatinya. Para pelaku korupsi pun seakan tak pernah merasa jera, padahal sudah banyak sebagian di antara mereka yang masuk ke jeruji penjara. Kasus Bank Century, Traveler Check dalam pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia, kasus mafia pajak untuk menyebut beberapa kasus adalah contoh kecil dari pernak-pernik fenomena korupsi yang terjadi selama ini. Realitas tersebut memberikan sinyal bahwa reformasi semakin tidak mempunyai arah yang jelas, apalagi berpihak kepada mereka yang terpinggirkan/termarginalkan (rakyat). Reformasi yang diharapkan banyak pihak bisa membawa angin perubahan pada semua lini kehidupan tengah dibajak oleh sebagian elit-elit politik demi kepentingan pribadi. Lebih tepatnya, reformasi telah dinodai dengan merajalelanya tindakan koruptif oleh sebagian pejabat kita. Alhasil, korupsi semakin menggurita bak penyakit akut yang tidak ada penawarnya, meskipun tidak bisa dipungkiri, segala cara sesungguhnya telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk memberangusnya. Namun demikian, segala jurus jitu juga dipakai oleh oknum yang tidak bertanggung jawab demi keuntungan pribadi dan kroni-kroninya. Pada titik inilah reformasi menyisakan berbagai macam permasalahan besar yang membutuhkan perhatian ekstra dari seluruh warga bangsa. Maraknya korupsi kepala daerah Masalah korupsi semakin menggila ketika perilaku korup tidak hanya terjadi di tingkat pemerintah pusat, melainkan semakin liar merayap ke jantung pemerintahan daerah. Tak tanggung-tanggung, berdasarkan informasi yang dihimpun dari banyak sumber mengatakan bahwa saat ini ada sekitar 155 kepala daerah yang tersangkut masalah hukum, di mana 17 orang di antaranya adalah gubernur. Di beberapa daerah, grafik korupsi juga meningkat drastis dibanding tahun-tahun sebelumnya. Contoh, laporan Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi Kolusi Nepotisme (KP2KKN) provinsi Jateng menyatakan bahwa selama tahun 2010, di Jateng terdapat 174 kasus korupsi. Angka ini naik drastis dibandingkan dengan tahun 2009 yang hanya mencapai 39 kasus, dan pada tahun 2008 hanya 29 kasus. Kenyataan ini menguatkan sebuah kesimpulan sementara bahwa pelaksanaan desentralisasi yang muaranya adalah menciptakan pemerintahan berkualitas (good-governance) di mana salah satunya ditandai dengan penciptaan pemerintahan yang bersih dari aroma Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) semakin jauh panggang dari api. Sebaliknya, pelaksanaan desentralisasi yang mewujud melalui otonomi daerah justru memberi ruang yang cukup menganga terhadap praktek korupsi. Pertanyaannya kemudian, kenapa korupsi begitu marak dilakukan oleh sebagian oknum pejabat daerah (kepala daerah)? Langkah-langkah apa yang bisa ditempuh guna mencegah maraknya korupsi yang dilaksanakan oleh kepala daerah? Ada sejumlah alasan mengapa korupsi begitu marak dilakukan terutama oleh para pejabat daerah. Pertama, merajalelanya praktik korupsi di daerah karena tingginya ongkos politik yang harus ditanggung oleh para kandidat yang maju dalam pemilukada. Alhasil, kondisi ini rentan dengan penyelewengan atau penyalahgunaan wewenang ketika salah satu di antara mereka menang atau pada akhirnya menjadi kepala daerah. Di sini kepala daerah terpilih mencari-cari cara bagaimana untuk mengembalikan modal melalui APBD. Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center Arif Nur Alam pernah mengatakan,bahwa biaya yang dibutuhkan oleh seroang kandidat calon bupati minimal Rp 5 miliar, calon wali kota minimal Rp 10 miliar, dan calon gubernur minimal Rp 20 miliar. Sementara pengeluaran ini tidak sebanding dengan gaji yang mereka terima. Di sisi lain, penyelewengan dilakukan berkaitan dengan kepentingan incumbent untuk maju dalam pemilukada berikutnya. Penyalahgunaan wewenang dalam konteks ini adalah seperti penggunaan APBD untuk kegiatan-kegiatan yang menyimpang dari program yang sebenarnya harus dijalankan. Contoh, banyak dijumpai bahwa para pejabat petahana (incumbent) menggunakan fasilitas dan dana pemerintah setempat untuk keperluan kampanye politik. ICW mencatat bahwa dalam pelaksanaan pemilukada selama tahun 2010, dijumpai ada sekitar 504 kasus pilkada terkait penyalahgunaan wewenang dan jabatan. Kondisi ini mengafirmasi fakta bahwa korupsi di daerah lebih banyak disebabkan karena masalah kepentingan politik (ongkos politik yang cukup tinggi) dan rendahnya moral para pejabat terutama pada usaha untuk memperkaya diri sendiri. Kedua, korupsi kepala daerah disebabkan karena rendahnya pengawasan dari masyarakat. Kontrol yang kurang dari masyarakat menyebabkan pejabat daerah (kepala daerah) bisa seenaknya sendiri melakukan tindakan korupsi terlebih mereka merasa telah mengeluarkan ongkos politik yang teramat besar. Buruknya performa kepala daerah terlebih tersangkut kasus korupsi semakin membelalakan mata kita bahwa transisi menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa sangat sulit untuk diwujudkan. Fakta ini semakin menegaskan bahwa reformasi dengan segala macam instrumen yang dimilikinya dalam derajat tertentu justru memindahkan fenomena korupsi dari pusaran kekuasaan di tingkat pusat ke tingkat daerah. Disinilah ironi demokrasi semakin nyata adanya. Pencegahan Korupsi Kepala Daerah Beberapa kalangan melihat bahwa solusi untuk mencegah korupsi di daerah adalah salah satunya dengan mengembalikan ajang pesta demokrasi (pemilukada) kepada DPRD setempat. Asumsinya adalah dengan mengembalikan proses pemilihan kepala daerah ke DPRD, maka peluang korupsi bisa dicegah. Wacana ini menyeruak ke permukaan sebagai respon atas fakta miris yang terjadi akhir-akhir ini di mana banyak kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Dalam konteks ini, para kepala daerah harus dipilih secara tidak langsung oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah daripada rakyat secara langsung. Namun demikian, menurut hemat saya, pengembalian hak suara kepada anggota DPRD di samping terjadi proses kemunduran, juga memasung kedaulatan rakyat. Di sisi lain, langkah ini bukanlah solusi untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi sebagaimana yang terjadi selama ini. Ada beberapa alasan mengapa pemilukada tidak langsung bukanlah solusi alternatif. Pertama, bukan tidak mungkin money politik tetap susah dicegah. Hal ini berkaitan dengan kepentingan para kandidat untuk bisa memenangi pertarungan. Mengingat yang mempunyai hak pilih adalah anggota DPRD, maka peluang politik transaksional melalui model suap atau pembelian suara lewat anggota fraksi jelas-jelas sangat terbuka lebar. Dus, pemilukada tidak langsung secara kasad mata tidak bisa menyelesaikan masalah korupsi. Kedua, pemilukada tidak langsung hanya akan menciderai demokrasi yang dengan susah payah tengah dibangun. Hal ini lebih disebabkan karena tidak adanya partisipasi politik masyarakat secara langsung untuk bisa memilih kandidat yang mereka senangi. Dengan demikian, tidak adanya hak rakyat dalam menentukan kepala daerah mereka akan semakin mengkerdilkan nilai-nilai demokrasi karena hak rakyat secara tidak langsung telah dikebiri. Terkait hal tersebut, paling tidak ada tiga hal yang patut menjadi bahan pertimbangan demi melakukan pencegahan terhadap aksi korupsi oleh kepala daerah. Pertama, dana kampanye harus dibatasi. Selama ini, alokasi dana kampanye belum secara tegas diatur. Pun jumlah uang yang dibutuhkan dalam kampanye juga tidak transparan dalam pelaporannya. Pembatasan dana kampanye menjadi penting mengingat ongkos politik terlalu mahal dan selama ini lebih banyak dibebankan kepada kandidat. Dengan demikian, pembatasan ini bisa mengerem keinginan kepala daerah terpilih untuk melakukan tindakan korupsi. Kedua, parpol harus mengeluarkan/mengalokasikan dana untuk kepentingan kampanye politik calon pemimpin di daerah. Selama ini, parpol terkesan enggan mengeluarkan dana kampanye disebabkan karena calon berasal dari luar partai. Kondisi ini menyebabkan partai memperoleh banyak keuntungan sebab mereka tidak harus bersusah payah mengeluarkan ongkos politik yang terlalu besar. Ketiga, sebisa mungkin kandidat kepala daerah harus dari kader parpol. Hal ini sangat penting untuk menghindari politik transaksional. Logikanya adalah jika kader sendiri yang maju, maka potensi kandidat untuk melakukan suap terhadap parpol sendiri akan kecil. Pun sebaliknya, partai politik tidak akan memasang bandrol terkait berapa yang harus dikeluarkan kandidat untuk bisa maju dalam ajang pemilukada. Selanjutnya, pemilihan kader parpol juga untuk menunjukan bahwa partai politik telah secara serius melakukan pengkaderan terhadap anggota-anggota mereka. Di atas segalanya, dibutuhkan kemauan politik (political will) semua pihak terutama pemerintah agar maraknya tindakan korupsi bisa dicegah seminimal mungkin. Penulis adalah Dosen FISIP Universitas Budi Luhur Jakarta


Post a Comment



    Download



    Download



    Download



    Download


      "Pembaca yang terhormat, agar selalu memperoleh informasi terbaru dari kami, silahkan ketik alamat email anda pada kotak dibawah ini, untuk informasi lainya silahkan hubungi:fatur@mail.com".

      David


      "Dear reader, for recived up to date information from Us please submit your email address below, for further information please contact: fatur@mail.com"

      Virgie


        Ebook Free Download
        Business, Strategy, Standard Operational Procedure www.EzBook.tk

          Journal Free Download
          Marketing,Advertising,Sales, Accounting, Franchise www.EzJournal.tk

            Scholarsip Free Application
            AusAid, USAID,Sampoerna Foundation, AsiaInvest www.EzScholar.tk

            Career Preparation
            Application Letter, Phsycotest, Interview, Management Trainee

              IELTS Free Preparation
              Listening, Reading, Writing, Speaking, IELTS Prediction www.EzIELTS.tk

                GMAT Free Preparation
                GMAT Exercise, Score Prediction, MBA,USA,Business, Management www.EzGMAT.tk

                For Further Information
                Please Contact Us: ecustomer@mail.com www.AdsbyGoogle.tk

                  TOEFL Free Preparation
                  TOEFL Online,Score Prediction,Preparation, Exercise www.EzTOEFL.tk




                      geovisite
                      geovisite



                        Free Blog Counter

                        « Home | Kesiapan Bupati Pemalang Melayani » | Pemilukada Pemalang 2010 dan Tantangan Pemimpin ke... » | Akar Radikalisme dan Terorisme di Indonesia » | Menelaah program Rumah Aspirasi » | Politik Dinasti: Apakah Berbahaya? » | Politik selebriti dan paradoks demokrasi » | Budaya Korupsi: Problem hedonis dan permisif » | Kabinet SBY-Boediono dan potensi resiko illiberal ... » | Putusan MK dan Keterwakilan Perempuan » | MENGUKUR OPORTUNITY COSTS PARTAI DEMOKRAT PASCA PE... »